About Me

My photo
"Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengetahui mereka dengan tanda-tanda (yang ada pada) mereka. Dan kamu akan benar-benar mengenal mereka dari cara bicara mereka, dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian"- SURAH MUHAMMAD:30

Biodata Imam Hussien as

Nama : Hussein
Julukan : Saiyidu Syuhada
Gelaran : Abu Abdullah
Nama bapa : Sayidina Ali bin Abi Thalib
Nama ibu : Fathimah az-Zahra
Tempat lahir : 3 Sya’ban
Tempat dilahirkan : Madinah Munawwarah
Masa menjadi pemimpin : 11 tahun
Umur ketika syahid : 57 tahun.
Tarikh syahid : 10 Muharram
Nama pembunuh : Syimr
Bagaimana terbunuh : Diserang dan dipancung dengan kejam.
Tempat semadi : Karbala
Bilangan anak : 4 lelaki dan 3 perempuan.
Nama sebenar : Sayidina Hussein bin Sayidina Ali bin Abi Thalib.

PINTU ILMU RASULULLAH S.A.W.W

Photobucket

pakoz INFO

AL-KURAN,AL-HADIZ,NAHJUL BALAGHAH

"Apabila kamu perhatikan/renungkan Nahjul Balaghah, niscaya akan kau dapatkannya satu air yang mengalir, satu jiwa dan satu metode seperti halnya benda sederhana (simple) yang satu bagiannya tidak berlawanan secara esensial dengan bagian yang lain dan seperti Al-Qur'an yang mulia; awalnya seperti tengahnya, dan tengahnya seperti akhirannya. Setiap surah dari Al-Qur'an bahkan setiap ayat darinya serupa dengan ayat atau surah yang lain dalam sumber (ma'khadz), aliran, seni, metode dan keteraturan, dan jika sebagian dari Nahjul Balaghah adalah cacat sementara yang lain adalah sempurna dan sehat, niscaya karya ini tidak akan seperti itu (kesatuan)."[4]

[4] Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 4, hal 325.

Para Penghafal Nahjul Balaghah

- Hamid Chenani; penghafal Al-Qur'an dan Nahjul Balaghah; asal Ahvaz; lahir tahun 1976.
- Muhammad Fattah Pour; penghafal Al-Qur'an dan Nahjul Balaghah; asal Kasyan; lahir tahun 1990.
- Dr. Ali Reza Zadeh Jouibari; penghafal Al-Qur'an dan Nahjul Balaghah; asal Qom; lahir tahun 1992.
- Ayatullah Khaz Ali; penghafal Al-Qur'an dan Nahjul Balaghah; lahir tahun 1930.
- Hujjatul Islam Dirayati; penghafal Al-Qur'an dan Nahjul Balaghah; lahir tahun 1965.
- Mahdi Netzad; penghafal Al-Qur'an dan Nahjul Balaghah; lahir tahun 1980.
- Muhammad Zari' Arnani; penghafal Al-Qur'an dan bagian Hikmah Nahjul Balaghah; lahir tahun 1982.
- Muhammad Mahdi Mushibi; penghafal Al-Qur'an dan bagian Surat-surat Nahjul Balaghah.
- Abbas Ali Khorsand; penghafal bagian Hikmah Nahjul Balaghah.
- Ali Habibi; penghafal Al-Qur'an dan bagian Hikmah Nahjul Balaghah.
- Zahra' Karimi; penghafal bagian Hikmah Nahjul Balaghah.
- Zainab Kazhimi Khalidi; penghafal bagian Hikmah Nahjul Balaghah.



KEUTAMAAN AMIRUL MUKMININ


Ahmad bin Hanbal memberikan jawaban kepada orang yang merasa aneh dan terkejut bagaimana Ali as menjadi pembagi surga dan neraka seraya berkata, "Bukankah diriwayatkan pula dari Rasulullah saw yang bersabda kepada Ali as, 'Tak seorang pun yang mencintaimu kecuali orang yang beriman, dan tak seorang pun yang membencimu kecuali orang yang munafik?'" Mereka menjawab, "Iya." Lalu Ahmad melanjutkan penjelasannya, "Oleh karena tempat orang beriman adalah surga dan tempat orang munafik adalah neraka, maka Ali as adalah pembagi surga dan neraka."[35]

[35] Thabaqât al-Hanâbilah, jilid 1, hal. 320.

BUKU AJAIB - NAHJUL BALAGHAH

Koleksi berharga dan indah ini bernama Nahjul Balaghah. Masa tidak mampu menjadikannya basi dan kuno. Laju roda zaman dan munculnya ide-ide baru secara berurutan telah memperjelas nilai buku ini. Buku ini adalah pilihan ceramah, doa, wasiat, surat dan kata mutiara Amirul Mukminin Ali as yang dikumpukan oleh Sayid Radhi sekitar seribu tahun yang lalu.
Tidak diragukan lagi bahwa Amirul Mukminin as adalah orator. Maka dari itu, beliau sering berceramah. Sering juga terdengar dari beliau kata-kata mutiara yang bijak sesuai dengan momen-momen tertentu. Begitu pula tercatat pula oleh sejarah surat-surat beliau yang berlimpah, khususnya di masa kekhalifahannya. Dan sejak zaman itu, masyarakat memberi perhatian khusus pada kata-kata beliau dan menghafalnya.
Al-Mas‘udi, yang hidup sekitar seratus tahun sebelum sayid Radhi (akhir abad ketiga dan awal abad keempat Hijriah), mengatakan dalam kitabnya Murûj adz-Dzahab jilid kedua pada judul “Fi Dzikri Luma‘in min Kalâmih wa Akhbârih wa Zuhdih”, “Ceramah-ceramah Amirul Mukminin as di berbagai posisi yang telah dihafal oleh masyarakat mencapai angka empat ratus delapan puluh lebih. Beliau membawakan ceramah secara jelas dan tanpa persiapan atau catatan sebelumnya. Masyarakat pendengar pun segera menangkapnya dan secara praktis mengambil keuntungan dari orasi beliau.”
Kesaksian cendekiawan peneliti dan tersohor seperti al-Mas‘udi merupakan bukti betapa banyaknya ceramah Amirul Mukminin as. Nahjul Balaghah hanya memuat 239 ceramah padahal al-Mas‘udi melaporkannya lebih dari empat ratus delapan puluh yang tersimpan di memori masyarakat.
Sayid Radhi dan Nahjul Balaghah
Secara pribadi, Sayid Radhi sendiri sangat terpikat oleh kalimat-kalimat Amirul Mukminin as. Sayid adalah sastrawan, penyair dan mengenal nilai perkataan. Tsa‘âlibî yang hidup semasa dengannya berkata, “Sekarang ini, dia (Sayid Radhi) adalah orang yang paling menakjubkan di tengah masyarakat kontemporer. Dia adalah orang termulia di tengah para sayid Irak. Di samping memiliki nasab dan kehormatan yang sejati, dia juga dihiasi oleh sastra dan keutamaan yang sempurna .… Dialah yang terbaik di tengah pujangga-pujangga keluarga Abi Thalib, padahal keluarga ini punya banyak penyair yang handal. Tidak jauh dari kenyataan apabila saya katakan bahwa dari semua orang Quraisy tiada pujangga yang sampai pada tingkatannya.”
[1]
Keterpikatan dia pada sastra khususnya pada kalimat Amirul Mukminin as membuatnya lebih sering memandang kalimat beliau dari kaca mata kefasihan dan keindahan, dan hal itu pula yang menjadi tolok ukur pilihan dia dalam kitab Nahjul Balaghah, artinya bagian-bagian yang dia muat di kitab itu lebih menarik perhatiannya lantaran terletak pada puncak kefasihan tertentu; karena itulah koleksi kalimat Amirul Mukminin in diberi nama dengan Nahjul Balaghah, dan dengan alasan yang sama pula kenapa dia tidak begitu memberi perhatian lebih pada refrensi kalimat tersebut, hanya di beberapa tempat saja mengingat ada momentum tertentu dia menyebutkan nama kitab yang jadi rujukannya untuk menukil ceramah atau surat Amirul Mukminin as.
Langkah terutama yang harus diambil dalam buku sejarah atau hadis adalah refrensi dan sanad yang jelas, tanpa itu maka secara ilmiah buku itu tidak bernilai, adapun nilai karya sastra bukanlah pada refrensinya melainkan terletak pada kelembutan, keindahan, manis dan daya tawan karya tersebut. Kendatipun demikian, tidak bisa kita katakan bahwa Sayid Radhi lalai akan nilai histori dan nilai-nilai lain dari karya ini dan semata hanya memperhatikan nilai sastranya.
Untungnya, di masa setelah dia, ada orang-orang yang meluangkan waktunya untuk mengumpulkan sanad dan refrensi Nahjul Balaghah, mungkin sampai sekarang buku yang paling lengkap dan luas dalam hal ini adalah “Nahjus Sa’adah fi Mustadraki Nahjil Balaghah” karya salah satu peneliti yang mulia dari negri Iraq dan bernama Muhammad Baqir Mahmudi. Kitab ini memuat semua ceramah, perintah, surat, wasiat, doa dan kata mutiara Amirul Mukminin as, di samping memuat semua isi Nahjul Balaghah kitab ini juga menampung ucapan-ucapan Amirul Mukminin as yang tidak terpilih di Nahjul Balaghah atau tidak terjangkau oleh Sayid Radhi pada waktu itu, dan sepengetahuan saya sampai sekarang ini hanya sebagian kecil dari kata mutiara saja yang masih belum disebutkan refrensinya, adapun yang lain sudah ditemukan dan sudah dicetak empat jilid.
[2]
Perlu diketahui juga bahwa bukan Sayid Radhi saja yang berperan dalam mengumpulkan kalimat-kalimat Amirul Mukminin as. Tidak sedikit orang lain yang juga memiliki karya koleksi kalimat beliau dengan nama yang berbeda-beda. Salah satu yang paling populer adalah karya bernama “al-Ghurar wa ad-Durar”, karya al-Âmidi yang disyarahi oleh Syaikh Jamaludin al-Khunsari dalam bahasa persia dan dicetak oleh yang terhormat Mir Jalaludin Muhaddis Armawi di universitas Teheran.
Ali al-Jundi, Rektor Fakultas Ulum di Universitas Kairo dalam pengantarnya terhadap buku yang berjudul “Ali bin Abi Thalib, Syi‘ruh wa Hikamuh” (Ali bin Abi Thalib, Syair dan Kata-kata Mutiaranya) menyebutkan beberapa naskah koleksi kalimat Amirul Mukminin as yang sebagiannya masih dalam bentuk tulisan tangan dan belom tercetak, seperti:
1. Dastûr Ma‘âlim al-Hikam, karya Qadla’i Sha’ibul Khutath.
2. Natsr al-La’âlî, karya seorang orientalis Rusia. Satu jilid besar dan terjemahannya sudah menyebar di pasaran.
3. Hikam Sayidina Ali as, tulisan tangan dan bisa dilihat di Darul Kutub al-Mishriah.
Dua Keistimewaan Nahjul Balaghah
Sejak dulu kala, ucapan Amirul Mukminin as terkenal dengan dua keistimewaannya: pertama, kefasihan dan keindahan, dan kedua, kemultidimensiannya. Masing-masing dari dua keistimewaan ini cukup untuk memberikan nilai yang sangat tinggi pada kata-kata Amirul Mukminin as, sedangkan bersandingnya dua keistimewaan ini dalam kata-kata beliau sangat mendekatkannya pada tingkat mukjizat. Maksud dari pertemuan dua kelebihan tersebut dalam kata-kata Amirul Mukmini as adalah ucapan yang disampaikan di berbagai perjalanan dan medan yang berbeda-beda, bahkan juga bertentangan, tetap menjaga puncak kefasihan dan keindahannya secara merata. Oleh karena itu, juga ucapan Amirul Mukminin as berada di posisi tengah antara firman Pencipta (Allah SWT) dan ucapan makhluk-Nya; fauqa kalâmil makhlûq wa dûna kalâmil khâliq. Begitulah sebagian ulama mengungkapkan isi hatinya.
Indah
Keistimewaan Nahjul Balaghah yang satu ini tidak perlu lagi untuk dijelaskan bagi orang yang mengenal nilai sebuah perkataan dan keindahannya, karena pada dasarnya keindahan hanya bisa dirasakan, bukan disifati. Empat abad telah berlalu (di masa hidup Mutahari), akan tetapi Nahjul Balaghah masih memiliki kelembutan, rasa manis, daya tarik dan tawan yang dahsyat bagi pendengar/pembaca masa kini sebagaimana juga hal itu berlaku bagi pendengar/pembaca pada saat Amirul Mukminin as melantunkannya. Kami tidak berada pada posisi pembuktian hal ini; kita sesuaikan dengan momentum saja perihal pembicaraan seputar pengaruh ucapan Amirul Mukminin as pada hati pendengar, begitu juga pengaruhnya dalam membangkitkan perasaan heran setiap pendengarnya sejak zaman itu sampai sekarang, padahal telah terjadi perubahan dan pergolakan intelektual dan selera sepanjang sejarah. Coba kita amati bersama mulai dari masa Amirul Mukminin as sendiri.
Sahabat-sahabat Amirul Mukminin as, khususnya mereka yang mengerti nilai orasi, betul-betul takjub pada kata-kata beliau. Ibn Abbas adalah salah satu dari mereka. Padahal Ibn Abbas sendiri—seperti dinukil oleh al-Jahizh di dalam kitab “al-Bayân wa at-Tabyîn”—adalah seorang orator yang handal.
[3]
Kepada Amirul Mukminin as, Ibn Abbas tidak menyembunyikan kerinduannya untuk mendengar kata-kata beliau dan bahwa dia menikmati ucapan beliau yang selalu indah menawan, seperti juga ketika beliau berceramah yang dikenal dengan orasi Syiqsyiqiah dan dihadiri pula oleh Ibn Abbas. Di tengah ceramahnya, ada orang berpendidikan dari kota Kufah datang mengantarkan surat kepada Amirul mukminin as. Beliau pun segera memotong ceramahnya dan membaca surat yang berisi masalah-masalah tertentu. Setelah membaca surat tersebut, Ibn Abbas memohon Amirul Mukminin as untuk melanjutkan ceramahnya tadi. Namun, beliau tidak mengabulkan permintaan itu. Ibn Abbas berkata, “Sumur hidupku, aku tidak pernah menyesal karena ceramah tertentu sebagaimana aku menyesali terputusnya ceramah ini.”
Ibn Abbas berkomentar tentang salah satu surat pendek Amirul Mukminin as yang dialamatkan kepadanya sebagai berikut, “Setelah sabda Rasulullah saw, saya tidak mendapatkan keuntungan lebih besar dari keuntungan yang saya dapat dari kata-kata surat ini.”
[4]
Mu‘awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan musuh bebuyutan Amirul mukminin as, mengakui keindahan dan kefasihan yang luar biasa dari kata-kata beliau.
Mahqan bin Abi Mahqan berpaling dari Amirul Mukminin as dan menuju ke Mu‘awiyah, dan untuk menarik hatinya yang benci berat terhadap Amirul Mukminin as, Mahqan berkata, “Saya pergi dari orang yang paling tidak berlisan (tidak mengenal bahasa) untuk datang kepadamu.”
Penjilatan ini sangat menjijikkan sehingga Mu‘awiyah sendiri yang memberinya pelajaran. Mu‘awiyah berkata, “Celakalah dirimu! Apakah Ali adalah orang yang paling beradab (sastra)?! Sebelum Ali ada, Quraisy tidak mengenal kefasihan kata-kata. Ali adalah orang yang mengajarkan keindahan kalimat dan kefasihan kepada Quraisy.”
Pengaruh
Mereka yang duduk di bawah mimbar Amirul Mukminin as sangat terpengaruh oleh kata-katanya. Nasihat-nasihat beliau menggetarkan hati setiap pendengarnya sampai mengalirkan air mata. Sampai sekarang pun, hati siapakah yang tidak gemetar ketika membaca ceramah nasihat Amirul Mukminin Ali as atau mendengarnya. Setelah menukil ceramah populer al-gharâ’, Sayid Radhi mennegaskan, “Sewaktu Amirul Mukminin as menyampaikan ceramah ini, badan pendengar jadi gemetar, air mata mengalir deras, dan hati pun berdetak kencang.”
Humam bin Syuraih—salah seorang sahabat Amirul Mukminin as yang hatinya dipenuhi rasa rindu kepada Allah swt dan jiwanya berkobar oleh api spiritual—sekali bersikeras meminta Amirul Mukminin as untuk menggambarkan sifat manusia bertakwa secara utuh. Di satu sisi, beliau tidak ingin mengecewakannya dengan jawaban negatif dan di sisi lain, beliau khawatir Humam tidak siap mendengarnya. Oleh karena itu, beliau menyingkat jawaban dalam kalimat yang pendek. Akan tetapi, Humam tidak rela dengan jawaban itu melainkan api kerinduannya semakin berkobar-kobar. Dia tetap bersikeras dan menyumpah beliau untuk menggambarkan lebih luas. Akhirnya Amirul Mukminin as pun memulai uraiannya. Sekitar 105
[5] sifat yang beliau bawakan dalam penggambaran ini dan masih berkelanjutan. Akan tetapi, setiap kata beliau berlanjut dan meningkat, detak jantung Humam pun semakin kencang dan jiwanya semakin tidak tenang seperti ayam yang terkurung dan ingin merdeka. Tiba-tiba saja terdengar teriakan kencang yang histeris dan menarik perhatian hadirin sekalian. Orang yang berteriak tadi tidak lain adalah Humam. Ketika kepalanya sampai ke bantalan, dia telah mengosongkan tubuhnya dan memasrahkan rohnya kepada Pencipta roh. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘un!
Amirul Mukminin as berkata, “Inilah yang saya khawatirkan sebelumnya. Heran! Lihatlah apa yang dilakukan oleh nasihat yang indah kepada hati yang siaga?!” Inilah tadi reaksi orang-orang yang mendengar kata-kata Amirul Mukminin as secara langsung.
[1] Abduh, Syaikh Muhammad, Pengantar Nahjul Balaghah, hal. 9.
[2] Pada masa hidup Syahid Muthahari.
[3] Al-Bayân wa at-Tabyîn, jilid 2, hal. 230.
[4] Nahjul Balaghah, Surat ke-22.
[5] Sesuai dengan penghitungan saya pribadi, jika tidak salah.

Fatwa-Fatwa Resmi Al-Azhar tentang Mazhab Jakfary (Syiah Imamiah)









Sejak lama Al-Azhar yang berada di kota Kairo-Mesir telah menjadi pusat dan kiblat buat pendidikan masyarakat Ahlusunnah. Al-Azhar telah banyak mencetak para ulama dan tokoh Ahlussunah yang kemudian tersebar di segala penjuru dunia, termasuk Indonesia. Para alumni al-Azhar dapat bersaing dengan alumni-alumni Timur Tengah lainnya seperti Saudi Arabia, Sudan,

Tunis, Maroko, Yordania, Qatar dan negara-negara lainnya. Inilah salah satu penyebab al-Azhar menjadi semakin mencuat citranya di berbagai negara muslim dunia, sehingga seorang pemimpin al-Azhar menjadi rujukan dan panutan bagi pemimpin perguruan tingi lain di Timur Tengah.

"Di sini, kita akan menunjukkan beberapa fatwa dari para petinggi al-Azhar perihal bermazhab dengan mazhab Jakfari, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syiah Imamiah Itsna ‘Asyariyah. Kita akan mulai dengan fatwa dari guru besar yang memulai fatwa pembolehan tersebut, Syeikh Allamah Mahmud Syaltut RA:
Kesemua dari para petinggi al-Azhar tadi memberi respon positif terhadap mazhab Jakfari (Syiah Imamiah Istna ‘Asyariah) dan mengakuinya sebagai salah satu mazhab dalam Islam dimana seorang muslim bebas untuk menentukan bermazhab dengan mazhab tersebut, kelegalannya sebagaimana mazhab Ahlussunnah yang ada. Tentu, bagi sebagian kelompok kecil yang merasa benar sendiri (ego) dan fanatisme golongannya telah melingkupi dirinya, plus akibat dari kekotoran jiwa yang tidak menerima fatwa-fatwa petinggi dan pemuka al-Azhar tersebut. Mereka hanya akan menerima fatwa dari ulama-ulama golongan mereka saja









PENCIPTAAN MALAIKAT

4Inilah alam yang disebut dengan Alam "Adhillah" (bayangan), "Mitsaq" (perjanjian), atau "Anwar" (cahaya). Banyak ayat dan riwayat yang menunjukkan hal ini, di antaranya adalah "Mereka tidak sombong untuk menyembah-Nya ...mereka tidak memberi syafaat kecuali kepada orang yang diridhai oleh-Nya dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. barangsiapa di antara mereka yang mengatakan, ~Sesungguhnya aku adalah Tuhan selain allah,~ia akan diganjar dengan neraka."(al-anbiya`: 19 dan 28-29) Mufadhal pernah bertanya kepada Imam ja`far al-shadiq as tentang dalil keberadaan Ahlul Bait di Alam Bayangan. Imam as lalu membaca ayat di atas dan berkata ,'Wahai Mufadhal, bukankah kalian tahu bahawa yang ada di langit adalah para malaikat, sedangkan yang berda di bumi adalah jin, manusia, dan semua makhluk yang bergerak? Lalu, siapakah mereka yang berda di sisi Allah dan bukan dari golongan malaikat?' 'Siapakah mereka, wahai junjunganku,' tanya Mufadhal. 'Siapa mereka? Mereka adalah Kami. Kami ada ketika tidak ada wujud (makhluk) selain kami, tidak ada langit, bumi, malaikat, nabi, dan rasul.'(al-hidayah al-Kubra, hal. 433) Ketika Imam al-Shadiq as ditanya, bagaimana wujud kalian sebelum Allah menciptakan langit dan bumi? Beliau menjawab,'Kami adalah cahaya-cahaya di sekitar A`rsy Allah dan bertasbih kepada-Nya hingga Dia menciptakan malaikat. Ketika mereka diperintahkan untuk bertasbih, mereka mengatakan,'Kami tidak tahu caranya.' Allah lalu menyuruh kami untuk bertasbih, dan kami bertasbih diikuti para malaikat. Ketahuilah bahwa kami diciptakan dari cahaya Allah."

TAFSIR AHLUL BAYT


Catatan akhir

1Beginilah riwayat: Imam Ali as berkata,"Basmalah adalah bagian dari ayat-ayat surat al-fatihah, yang semuanya berjumlah tujuh ayat."(kemudian beliau berkata)," Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,"Sesungguhnya Allah berfirman kepadaku: Wahai Muhammad, Kami telah berikan padamu tujuh ayat dari al-Fatihah dan juga al-Quran.Allah mengkhususkan al-Fatihah untukku dan menyetarakannya dengan al-Quran. Sesungguhnya al-Fatihah lebih agung dari apa yang tersimpan di ~Arsy.~Allah mengkhususkan Muhammad dengan basmalah dan memuliakan beliau dengannya. Tak seorangpun yang menyamai beliau, kecuali Sulaiman as. Bukankah kalian tahu bahwa Allah telah menceritakan Bilqis yang berkata," Telah sampai kepadaku sebuah surat yang dikirim Sulaiman dan dimulai dengan Bismillahirrahmanirrahim"? Ketahuilah, barangsiapa membaca basmalah dengan kecintaan kepada Muhammad dan keluarganya, taat kepada mereka, dan beriman pada lahir dan batin mereka, maka Allah akan memberinya sebuah kebaikan bagi setiap hurufnya. Setiap kebaikan lebih baik dari dunia dan segala isinya. Dan barangsiapa mendengar seseorang membaca basmalah, maka dia mendapat sepertiga pahala orang yang membacanya. Karena itu, seringlah membaca basmalah yang penuh berkah ini. Ia merupakansebuah harta yang tiada habisnya, dan orang tidak akan menyesal membacanya.

ASSALAMMUA`LAIKUM YA SOHIBUZZAMAN





Memberikan petunjuk dan hidayah bagi masyarakat dari kesesatan menuju jalan kebenaran yang diridoi oleh Allah swt adalah merupakan sebuah sejarah umat manusia yang sejak dulu ada dan tidak akan pernah berhenti, dan dengan adanya manusia, Allah swt telah mengirim para nabi guna menunjukkan jalan lurus kepada mereka, dan demi mengemban misi ini Allah telah medatangkan mereka dalam jumlah yang besar hingga mencapai 124.000 nabi, yang diawali oleh nabi Adam dan diakhiri oleh nabi besar Muhammad SAWW.

Para nabi yang mulya walaupun dengan segala jerih payah, daya dan upaya, umur mereka habis demi menjalankan tugas misi Allah, yaitu memberikan jalan petunjuk kepada umat manusia, namun tidak ada satupun dari mereka yang berhasil sampai menegakkan pemerintahan secara global dan universal, mereka hanya berhasil membentuk sebuah pemerintahan pada waktu dan batas-batas tertentu. Dan tentunya sebuah perbaikan global yang diharapkan adalah terbentuknya sebuah pemerintahan yang sifatnya mendunia dan bukan pada batasan-batasan daerah tertentu saja.

Dengan demikian harapan seluruh umat manusia adalah adanya seorang pribadi yang meneruskan misi para nabi dan mewujudkannya dengan cara mempersiapkan diri dan lahan untuk terciptanya sebuah pemerintahan global yang dipimpin oleh Sahib Al-Zaman af, sehingga seluruh nabi dan orang-orang yang tertindas mencapai harapan dan keinginannya dengan terbentuknya pemerintahan yang penuh dengan kebahagiaan dan keceriaan “baldatun thoyibatun wa rabbun ghofuur”.

Harapan semacam ini selalu ada dan akan berlanjut, nabi besar Muhammad SAWW danpara imam tiada satupun dari mereka yang dapat sampai membentuk sebuah pemerintahan yang mereka inginkan, sehingga mereka selalu berulang-kali bersabda:

“Seandainya dunia ini hanya tinggal satu hari saja, maka Allah akan memanjangkan hari itu, sehingga ditegakkan pemerintahan Sahib Al-Zaman”. [1]

Dan dialah Al-Mahdi yang dijanjikan yang akan menutup perkara penting ini dengan tindakan dan juga sebagaimana ungkapan yang telah disampaikan oleh pemimpin besar revolusi slam Iran, Imam Khomaini (rahmatullahi alaih) tentang beliau af, : “Saya tidak dapat menaruh kata pemimpin untuk beliau (Al-Qaaim), namun ada sesuatu yang lebih besar dari hal itu, tidak dapat saya ucapkan sebagai orang yang pertama karena tidak ada yang kedua. Kita tidak akan pernah bisa memberikan ungkapan untuk beliau selain “Al-Mahdi yang dijanjikan”, dialah sosok pribadi yang disimpan sebagai cadangan oleh Allah SWT untuk manusia”[2]

(dan sebagai pamungkas untuk para imam dan yang akan membalas tetesan-tetasan darah Al-Husain yang ditumpahkan di padang Karbala, Pent.)

Kalimat “Baqiyatullah” adalah salah satu laqab terkenal yang dimiliki oleh Imam Zaman, yang menjelaskan bahwa Allah SWT menyimpan beliau sebagai cadangan, sehingga beliau dapat merealisasikan cita-cita dan harapan semua orang tertindas, para nabi dan para pendukung tauhid dan kebenaran dari seluruh penjuru dunia. Sekarang perhatikanlah beberapa riwayat di bawah ini:

* Salah seorang penolong Imam Shadiq as berkata: “Ketika aku mendapat taufiq berkunjung menemui Imam Shadiq as, aku bertanya kepada beliau: Apakah engkau sahib kami? Kemudian beliau menjawab: Apakah aku adalah sahib kalian? Kemudian beliau memegang dan menarik lenganku, seraya bersabda: Aku sudah mulai beranjak tua, adapun sahib kalian adalah seorang yang masih muda”.[3]

Dijelaskan bahwa ungkapan “sahib” hanya digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan Imam Zaman, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan global beliau yang dijanjikan akan memenuhi dunia ini dari segala arah dan penjuru, dan seluruh umat muslim sedunia harus berusaha untuk mendapatkannya dan menunggu kemunculannya.

* De’bel adalah seorang penyair yang hidup pada zaman Imam Ridho as, mendapat taufiq bertemu dengan beliau dan mendapat kesempatan untuk menguraikan bait-bait syairnya yang penuh arti dalam memuji dan menjunjung tinggi keluarga Nabi SAW yang suci dan disucikan. Di akhir uraian bait-bait syairnya Imam Ridho as bersabda: Tambahkan juga dua bait syair ini dalam bait-bait syairmu! Yang salah satu baitnya adalah:

الى الحشر حتى يبعث الله قائما * يفرج عنا اليهم والكربات

“Musibah dan petaka ini, dan segala kesulitan yang menimpa akan terus berlanjut sampai Allah SWT membangkitkan Al-Qaaim (penegak kebenaran), sehingga ia akan menepis segala kesulitan dan musibah itu dan menggantinya dengan kebahagiaan dan memberikan kami kesenangan dan kegembiraan”. [4]

* Imam Shadiq kepada salah satu penolongnya bersabda: “Tafsiran dari ayat { فاصبر على ما يقولون } beristiqomahlah dengan apa yang diucapkan oleh para penentang,[5] adalah: wahai Muhammad hadapilah para penentang, karena aku akan membalaskan dendammu dengan seseorang dari keturunanmu yang dia akan aku berikan kekuatan untuk menguasai darah orang-orang yang zalim.

Dengan memperhatikan sebagian dari ucapan-ucapan para imam dan para ulama, dapat kita simpulkan bahwa Imam Al-Qaaim adalah harapan sepanjang sejarah dan seluruh dunia. Namun yang pasti harus diperhatikan adalah seluruh manusia tidak akan sampai pada harapan yang sangat besar ini, kecuali dengan berusaha dan berjerih payah, berjihad, penuh kesabaran dan kesadaran, bertempur dan menegakkan amar makruf dan nahi anil mungkar, sebagaimana berkali-kali disarankan oleh para imam.[]


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Itsbatul Huda, jilid 7, hal. 51, pemerintahan yang diinginkan seluruh Nabi.

[2] Ucapan-ucapan Imam Khomaini pada pertengahan bulan Sya’ban, 1360 HS, di Husainiyah Jamaran

[3] Biharul Anwar, jilid 52, hal. 280.

[4] Safinatul Bihar, jilid 2, hal. 448. dan Uyun Al-Akhbar(Akhbar Ar-Ridho) jilid 2, hal. 263

[5] QS. Thaha 13<

KEKASIH ALLAH

Benarkah Nabi SAW Manusia Biasa?

Apakah Nabi saw hanya manusia biasa tidak ubah-nya seperti kita-kita? Demikian, mungkin keyakinan sebagian pihak. Biasanya mereka mengajukan ayat: “Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kamu. Hanya saja kepadaku disampaikan wahyu.” (QS. 18:110). Berdasarkan ayat ini dan tunjangan ayat-ayat senada, semisal “Katakan: ‘Mahasuci Tuhanku. Bukankah aku hanya seorang manusia yang diutus?” Kelompok ini percaya bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia biasa seperti manusia lainnya, dapat membuat kesalahan, kekeliruan, bahkan mungkin, na’udzubillah, pelanggaran. Oleh karena itu kelompok ini menuding para pemuja Nabi saw telah berlaku berlebih-lebihan dan pengkultusan yang tidak perlu. Benarkah demikian? Untuk itu kita harus melihatnya dari berbagai sisi.
Pertama, sejauh mana al-Quran mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw, apakah hanya sebagai manusia biasa seperti manusia-manusia lainnya, atau sebagai manusia yang luar biasa, yang tidak dapat disamakan dengan manusia umum, bahkan dengan malaikat sekalipun?
Jika kita telusuri dengan seksama ayat-ayat yang menyinggung tentang Nabi saw atau malah riwayat-riwayat yang berkenaan dengan Nabi saw, maka dengan yakin kita akan menganut pandangan kedua dan menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw memang bukan manusia biasa. Ia adalah manusia utama, “superman” yang telah berhasil melewati tingkat umum manusia dan mencapai derajat keutamaan yang tiada taranya. Katakanlah insân kamîl. Tapi mengapa masih ada yang memandang Nabi saw sebagai manusia biasa? Kita akan melihatnya.
Kedua, apa yang dimaksud bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia, basyar, seperti manusia lainnya? Apakah maksudnya bahwa kedudukannya di mata Allah sama dengan manusia lainnya? Saya kira kelompok penolak pemujaan kepada Nabi pun tidak membenarkan anggapan seperti ini. Mereka juga yakin bahwa Nabi Muhammad adalah seorang rasul dan memiliki kedudukan yang sangat khusus di sisi Allah. Tapi mengapa mereka menganggap bahwa Nabi tidak ubahnya seperti manusia lain yang dapat lupa, salah, atau keliru? Kita coba mengkajinya.
Ketiga, bagaimana kita harus menyikapi Nabi Muhammad saw? Di satu sisi, ia adalah Nabi dengan kemuliaan yang tiada tara, tapi di sisi lain al-Quran menegaskan bahwa ia juga adalah manusia seperti kita. Kita akan sampai ke pembahasan ini setelah kita melewati pembahasan pertama dan kedua.

Kedudukan Nabi dalam al-Quran
Seperti yang telah kita singgung di atas, kedudukan Nabi Muhammad saw dalam al-Quran sungguh luar biasa. Terdapat puluhan ayat di dalam al-Quran yang memuja Nabi Muhammad saw, apakah dalam bentuk pujian langsung, seperti ayat yang menyatakan bahwa Nabi memiliki akhlak yang sangat luhur.
Atau dalam bentuk penyebutan sifat-sifat terpuji yang dimiliki Nabi. Berikut beberapa contoh keagungan Rasulullah sebagaimana dalam al-Quran.
Pertama, keimanan semua rasul kepada Nabi Muhammad SAW.
Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw berkata:
Setiap kali Allah mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Nabi Muhammad saw diutus, mereka akan ber-iman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama.
Untuk hal ini, Allah Swt. berfirman dalam QS. 3:81:
Dan ketika Allah mengambil janji dari para nabi: “Aku telah berikan kepada kalian al-kitab dan al-hikmah, maka ketika Rasul itu (Muhammad saw) datang kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada pada kalian, kalian benar-benar harus beriman kepadanya dan membelanya.” Dia (Allah) berkata: “Apakah kalian menerima dan berjanji akan memenuhi perintah-Ku ini?” Mereka berkata: “Ya, kami berjanji untuk melakukan itu.” Dia berkata: “Kalau begitu persaksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kalian.”
Kedua, kabar gembira tentang kedatangan Muhammad saw. Al-Quran menjelaskan bahwa para penganut Ahlul Kitab tahu betul tentang kedatangan Nabi Muhammad saw, sebagaimana mereka tahu betul siapa anak mereka. Bahkan mereka saling memberi kabar gembira tentang kedatangannya itu (QS. 2:89, 146). Dan itu pula yang dipintakan Nabi Ibrahim as dalam doanya:
Tuhan kami, utuslah pada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (Muhammad) yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijak-sana (QS. 2:129).
Ketiga, penciptaan Nabi Muhammad saw sebelum Nabi Adam as. Tetapi penciptaan itu masih dalam wujud “nûr” atau cahaya. Ketika Allah mencip-takan Adam, Ia menitipkan nur itu pada sulbi Adam yang kemudian berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga sulbi ‘Abdullah, ayah Nabi. Ibnu Abbas meriwayatkan:
Rasulullah saw bersabda:
Allah telah menciptakanku dalam wujud nur yang bersemayam di bawah ‘arasy dua belas ribu tahun sebelum menciptakan Adam as. Maka ketika Allah menciptakan Adam, Ia meletakkan nur itu pada sulbi Adam. Nur itu berpindah dari sulbi ke sulbi; dan kami baru berpisah setelah ‘Abdul Muthalib. Aku ke sulbi ‘Abdullah dan ‘Ali ke sulbi Abu Thalib.
Al-Quran menyebutkan bahwa sulbi-sulbi tempat bersemayamnya nur itu adalah sulbi-sulbi orang-orang suci. Ini berarti bahwa orangtua dan nenek moyang Rasulullah sampai ke Nabi Adam as. Istilah al-Quran, al-Sajidîn, orang-orang patuh. Allah berfirman:
Dan bertawakallah kepada Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau bangun dan perpindahanmu dari sulbi ke sulbi orang-orang patuh (QS. 26:217-219).
Keempat, Nabi Muhammad saw adalah manusia suci. Tidak pernah berbuat kesalahan, apalagi dosa. Namun demikian, ia tetap manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam arti bahwa secara biologis tidak ada perbedaan antara Nabi saw dengan yang lain. Allah berfirman dalam QS. 33:33:
Sesungguhnya yang dikehendaki Allah ialah menjauhkan kamu wahai Ahlul Bait dari segala kotoran dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.
Riwayat-riwayat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait pada ayat di atas adalah ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan Nabi Muhammad saw sendiri.
Kelima, Nabi Muhammad selalu dibimbing Allah Swt. Ucapannya, perbuatannya, tutur katanya dan sebagainya semuanya di bawah pengarahan dan bimbingan Allah Swt.
Sesungguhnya dia (Muhammad) tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsu, melainkan semuanya semata-mata adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS. 53:3-4).
Keenam, Nabi Muhammad saw adalah panutan yang sempurna, uswatun hasanah. Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik buat kamu.” (QS.33:21). Karena itu, maka “Apa pun yang dibawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarangnya harus kamu jauhi.” (QS. 59:7)
Ketujuh, dibukanya rahasia kegaiban kepada Nabi Muhammad saw. Allah berfirman:
Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada rasul yang dikehendaki (QS. 72: 26-27).
Tentu saja Rasulullah saw berada di urutan paling atas di antara para rasul yang menerima anugrah utama ini.
Kedelapan, Allah memuji Nabi Muhammad saw dengan berbagai pujian karena keluhuran akhlak-nya (QS. 68:4); kepeduliannya dan kasih sayangnya kepada umat manusia (QS. 9:128) dan pengorbanan diri, tidak mementingkan diri demi kebahagiaan orang lain (QS. 20:2-3). Selain itu Allah Swt memberi perhatian yang khusus kepada Nabi Muhammad saw jika ada sedikit saja “masalah” yang dihadapinya (QS. 93:1-3; 94:1-4).
Kesembilan, siapa saja yang berhadapan dengan Nabi Muhammad saw maka berhadapan dengan Allah Swt. Sebaliknya, siapa saja yang membelanya, Allah berada di belakangnya. Firman Allah (QS. 9:61). Pada kesempatan lain, Allah bahkan mengancam kedua istri Rasulullah sendiri, ‘Aisyah dan Hafsah, karena mengkhianatinya dalam soal rahasia yang disampaikannya kepada mereka. Jika mereka tidak tobat dan masih melawan Rasulullah, maka Allah sendiri yang akan menghadapi mereka (QS. 66:4).
Kesepuluh, Allah bershalawat kepada Nabi. Demikian juga seluruh malaikatnya. Karena itu orang-orang yang beriman diperintahkan bershalawat kepadanya (QS. 33:56). Arti shala-wat Allah kepada Nabi adalah penganugrahan rahmat dan kasih sayang-Nya; shalawat malaikat adalah permohonan limpahan rahmat-Nya. Demikian pula shalawat orang-orang beriman.
Kesebelas, orang-orang beriman diperintahkan untuk tidak memperlakukan Rasulullah sebagaimana perlakuan mereka terhadap sesama mereka. Jika berbicara kepada Rasul ha-rus dengan suara yang pelan, tidak boleh teriak-teriak, karena hal itu akan menghapus pahala amal mereka (QS. 49:2-3).
Kedua belas, Allah akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Nabi. “Dan tuhanmu akan memberimu sehingga membuatmu senang” (QS. 93:5). Ayat ini menunjukkan betapa Allah amat mencintai Nabi-Nya. Ia akan memberikan apa saja yang diinginkan Nabi dan akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Nabi saw. Dan salah satu anugrah Allah yang paling besar kepada Nabi ialah wewenang memberi syafaat kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat, tapi juga di dunia, yaitu dalam bentuk pengabulan doa yang disampaikan oleh Nabi untuk umatnya, baik ketika Nabi masih hidup maupun sesudah wafatnya.
Ketiga belas, Nabi saw ditetapkan sebagai perantara (wasilah) antara diri-Nya dengan manusia. Bahkan merupakan salah satu syarat terkabulnya doa.
Kami tidak utus seorang rasul kecuali untuk ditaati, dengan seizin Allah. Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun buat mereka, pastilah mereka dapati Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih (QS. 4:64).
Bahkan tawassul kepada Nabi Muhammad saw ini sudah dilakukan para nabi dan orang-orang salih jauh sebelum kelahirannya. Kita dapat membaca riwayat yang mengatakan bahwa Adam dan Hawa telah bertawassul kepada Nabi Muhammad saw saat mereka berdua dikeluarkan dari surga. Dikisahkan bahwa tatkala Nabi Adam as dikeluarkan dari surga, ia memohon ampun kepada Allah atas perbuatanya. Dalam permohonannya itu, ia bertawassul melalui Nabi Muhammad saw: “Ya Allah, melalui kebesaran Muhammad, aku mohon ampun pada-Mu kiranya Engkau ampuni dosaku.”
Allah Swt bertanya kepada Adam, “Dari mana kamu tahu Muhammad padahal Aku belum menciptakannya?”
Adam berkata, “Tuhanku, ketika Engkau ciptakan aku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh-Mu dalam diriku, aku mengangkatkan kepalaku dan kulihat di pilar-pilar Arsy tertulis Lâ ilâha illallâh Muhammad Rasûlullâh. Aku tahu Engkau tidak akan menyertakan nama hamba-Mu kepada nama-Mu kecuali yang paling Engkau cintai.”
Allah Swt berkata, “Engkau benar, Adam. Muhammad adalah hamba yang paling Aku cintai. Dan karena engkau memohon ampun melaluinya, maka Aku kabulkan permohonanmu. Hai Adam, kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Nabi Sebagai Manusia Biasa
Dari sekian ayat yang kita lihat di atas tidak dapat disangkal bahwa Nabi Muhammad saw bukan manusia biasa, dalam arti bahwa kedudukannya sangat-sangat mulia di sisi Allah. Ia telah diciptakan Allah sebelum menciptakan yang lainnya. Nabi telah dipersiapkan membawa amanat-Nya jauh sebelum utusan-utusan lainnya. Bahkan utusan-utusan itu diperintahkan untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat manusia kedatangannya. Nabi ditetapkan sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan, dan sebagainya. Akan tetapi semua ini tidak harus membuat kita memposisikannya sebagai bukan dari golongan manusia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as.
Nabi Muhammad saw tetap manusia sebagaimana manusia lainnya, sebagaimana isyarat al-Quran dalam beberapa ayatnya di atas. Pada diri Nabi Muhammad saw terdapat segala sesuatu yang ada pada manusia, yakni dimensi biologis manusia. Karena itu Nabi makan, minum, sakit, tidur, berdagang, berkeluarga, senang, sedih, dan sebagainya, seperti umumnya manusia. Al-Quran sengaja menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia, basyar, seperti manusia lainnya untuk membantah alasan penolakan kaum musyrikin terhadap Nabi saw bahwa ia bukan dari golongan malaikat atau paling tidak bekerjasama dengan malaikat (QS. 25:7) dan juga mengingatkan kaum Muslimin supaya tidak mengulangi kesalahan seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa yang menganggapnya sebagai Tuhan.
Akan tetapi ketika kita mengatakan bahwa Nabi adalah manusia biasa seperti manusia lainnya tidak berarti bahwa kita harus menganggapnya salah, keliru, melanggar, atau berakhirlah segalanya sesudah ia wafat. Sama sekali tidak demikian. Kesucian, keterpeliharaan dari dosa, maksum, hidup abadi bersama Allah sesudah kematian atau kemampuan berhubungan dengan-Nya sesudah kematian adalah perkara ruhani yang dapat saja dicapai oleh manusia manapun jika ia telah mencapai kedudukan ruhani yang tinggi atau katakanlah maqam Insan Kamil. Allah Swt memang menciptakan manusia dari unsur tanah, yang menghasilkan dimensi biologisnya, akan tetapi pada manusia, Allah ciptakan juga unsur lainnya, yakni ruh Allah, yang justru dapat membuat manusia lebih tinggi dari makhluk manapun, termasuk malaikat. Yaitu jika melalui ruh itu ia mampu mengatasi unsur biologisnya. Itulah mengapa malaikat dan jin atau Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam atau manusia. Itulah pula mengapa Nabi Muhammad dapat menembus Sidratul-Muntaha, sementara Jibril akan hangus terbakar jika berani mencoba melangkahkan kaki meskipun hanya setapak. Padahal Jibril adalah penghulu para malaikat. Karena Nabi Muhammad SAW telah mencapai derajat kesempurnaan mutlak insani.
Kesalahan terbesar pihak yang menolak mengakui kebesaran Nabi Muhammad di atas dan menolak memujanya, bahkan menganggap pelakunya sebagai bertindak berlebih-lebihan dan kultus yang diharamkan, yaitu karena mereka melihat Nabi Muhammad saw dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat Nabi saw sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya.
Melihat seorang hanya dari dimensi biologisnya adalah logika orang-orang kafir. Bukan logika orang-orang beriman. Dengan alasan bahwa para utusan itu hanya manusia seperti mereka, orang-orang kafir menolak mengakuinya sebagai nabi atau rasul.
Dan tidaklah menghalangi orang-orang (kafir) untuk beriman ketika datang kepada mereka petunjuk kecuali mereka mengalaskan: Apakah Allah mengutus rasul dari golongan manusia? (QS. 17:94).
Tapi orang-orang beriman berkata: “Kami mengimani-nya. Semuanya dari sisi Tuhan kami”. (QS. 3:7).
Sikap kepada Nabi
Berdasarkan beberapa ayat tentang keagungan Nabi Muhammad saw di atas dan beberapa riwayat Nabi, kita dapat melihat betapa Allah menuntut kita untuk menghormati dan mengagungkan rasul-Nya. Coba perhatikan ayat shalawat. Adakah perintah yang sama dengan perintah shalawat, yaitu yang didahului dengan pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya telah melakukannya terlebih dahulu dan oleh karena itu kita pun diperintahkan untuk melakukannya, selain shalawat kepada Nabi? Tidak ada. Perintah itu berarti kita harus selalu melihat Nabi dengan penuh takzim dan agar kita selalu membalas jasa-jasanya. Oleh karena itu pula, Nabi saw selalu mengingatkan bahwa orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil atau kikir. Bahkan orang yang datang ke tanah suci tapi tidak mampir ke Madinah untuk berziarah kepadanya telah memutus hubungan silaturrahmi dengannya.
Pada ayat tawassul kita bahkan diperingatkan Allah jika ingin dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya harus bertawassul kepadanya. Jika tidak, Allah tidak akan mengabulkan permohonan ampun kita. Allah juga mengingatkan agar kita tidak memperlakukannya sama dengan kita, sebab hal itu dapat menghapus pahala amal ibadah kita (QS. 49:2-3). Selain itu, kita juga diperingatkan untuk tidak menganggap apa yang dilakukan atau diucapkannya lahir karena emosi atau hawa nafsunya. Tapi semuanya atas bimbingan Allah yang tidak pernah salah.
Ia tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diterimanya (QS. 53:3-4).
Dengan demikian, yang mengagungkan dan memerintahkan kita untuk mengagungkan Nabi Muhammad saw adalah Allah Swt sendiri. Bukan kita. Kita hanya mengikuti perintah dan ajaran-Nya saja. Lalu mengapa kita harus menentang Allah dan Rasul-Nya hanya karena takut jatuh dalam hantu “kultus” yang kita ciptakan sendiri? Sebenarnya tidak ada kultus; karena kultus ialah melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pengagungan Nabi Muhammad saw justeru mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw sebagaimana mestinya, seperti diperintahkan al-Quran. Justru jika kita tidak melakukan itu, dikhawatirkan telah menzalimi beliau.
Sesungguhnya orang-orang yang menggangu Allah dan rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia maupun di akhirat dan Allah siapkan baginya siksa yang menghinakannya (QS. 33:57).
Sebagai penutup renungkan peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi saw di bawah ini. ‘Abdullah bin Amr berkata:
Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw. Aku bermaksud menghapalnya. Tapi orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata: “Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw? Padahal beliau hanyalah seorang manusia yang berbicara saat marah dan senang.” Aku berhenti menulis. Tetapi kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. Ia kemudian menunjuk kepada mulutnya dan berkata: “Tulis saja. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tidak ada yang keluar dari sini kecuali kebenaran.” Camkan!

Umar Shahab

DARI JALUR HADIS MANAKAH KEISLAMAN KITA?

Khotbah 209
Seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin tentang hadis-hadis palsu yang diada-adakan orang, yang bertentangan dengan ucapan Nabi, yang terdapat di kalangan rakyat.[1]Atasnya Amirul Mukminin berkata:
Sesungguhnya apa yang berada di kalangan rakyat itu adalah benar (haqq) dan batil (bâthil) sekaligus, benar (shidg) dan dusta (kidzb), menasakh dan dinasakhkan, yang umum dan yang khusus, yang jelas dan samar. Bahkan di zaman Nabi, ucapan-ucapan dusta telah diatributkan kepada beliau sedemikian rupa sehingga Nabi mengatakan dalam khotbah beliau, "Barangsiapa berdusta tentang saya maka sedialah tempatnya di neraka." Orang-orang yang meriwayatkan hadis terbagi dalam empat jenis, tak lebih.[2]

Pertama: Kaum Munafik Pendusta
Orang munafik adalah orang yang memamerkan keimanan dan mengambil wajah seorang Muslim; ia tak ragu-ragu berbuat dosa dan tidak menjauh dari kemungkaran; ia dengan sengaja mengatributkan hal-hal yang dusta kepada Rasulullah SAWW. Apabila orang tahu bahwa ia seorang munafik dan pembohong, mereka tidak akan menerima apa pun dari dia dan tidak akan mengukuhkan apa yang dikatakannya.

Sebaliknya, mereka katakan bahwa ia sahabat Nabi, ia telah bertemu dengan beliau, mendengar (kata-kata beliau) dari beliau dan mendapatkan (pengetahuan) dari beliau. Oleh karena itu mereka mendengarkan apa yang dikatakannya. Allah juga telah mempetingatkan kepada Anda tentang orang-orang munafik dan menggambarkan mereka sepenuhnya bagi Anda. Mereka telah berlanjut setelah Rasulullah. Mereka beroleh kedudukan dengan para pemimpin sesat dan pendakwah ke neraka melalui kepalsuan dan fitaah. Maka mereka menempatkan mereka (para munafik) itu pada jabatan-jabatan tinggi dan menjadikan mereka para pejabat di atas kepala-kepala rakyat dan menumpuk harta melalui mereka. Orang-orang selalu bersama para penguasa dan mengejar dunia ini, kecuali orang-orang kepada siapa Allah memberikan perlindungan. Ini yang pertama dari keempat golongan itu.

Kedua: Orang yang Keliru
Kemudian ada orang yang mendengar (suatu ucapan) dari Rasulullah tetapi tidak menghafalnya sebagaimana adanya, melainkan menyimpulkannya. la tidak berdusta dengan sengaja. Lalu ia membawa ucapan itu dan meriwayatkannya, mengamalkannya dan mengaku bahwa, "Saya mendengarnya dari Rasulullah." Apabila kaum Muslim itu mengetahui bahwa ia telah melakukan suatu kekeliruan dalam hal itu, mereka tidak akan menerimanya dari dia, dan apabila ia sendiri mengetahui bahwa ia keliru maka ia akan melepaskannya.

Ketiga: Orang yang Tak Tahu
Orang yang ketiga adalah orang yang mendengar Rasulullah SAWW memerintahkan untuk melakukan sesuatu, dan kemudian Nabi melarang orang melakukannya, tetapi orang itu tidak mengetahuinya. Atau ia mendengar Nabi melarang orang terhadap sesuatu dan kemudian beliau mengizinkannya, tetapi orang itu tidak mengetahuinya. Dengan demikian ia memelihara dalam pikirannya apa yang telah dihapuskan dan tidak menahan hadis yang menggantikannya. Apabila ia tahu bahwa hal itu telah dihapus maka ia akan menolaknya, atau apabila kaum Muslim tahu, ketika mereka mendengarnya dari dia, bahwa hal itu telah dihapus, maka mereka akan menolaknya.

Keempat: Orang yang Menghafal dengan Benar
Yang terakhir, yakni orang yang keempat, adalah orang yang tidak berbicara dusta terhadap Allah maupun terhadap Rasul-Nya. la benci akan, kepalsuan karena takut kepada Allah dan menghormati Rasulullah, dan tidak membuat kekeliruan, tetapi menahan (di pikirannya) tepat apa yang didengaraya, dan ia meriwayatkannya sebagaimana ia mendengarnya, tanpa menambah sesuatu atau meninggalkan sesuatu. la mendengar hadis yang menasakh, ia menahannya dan beramal menurutnya, dan ia mendengar tentang hadis yang sudah dinasakh dan menolaknya. la juga mengerti (tentang hal-hal) yang khusus dan yang umum, dan ia tahu yang umum dan yang khusus, dan menempatkan segala sesuatu pada kedudukannya yang semestinya.

Ucapan-ucapan Rasulullah biasanya terdiri dari dua jenis. yang satu khusus dan yang lainnya umum. Kadang-kadang seorang lelaki mendengar beliau tetapi ia tak tahu apa yang dimaksud Allah Yang Mahasuci dengannya atau apa yang dimaksud Nabi dengan itu. Secara ini si pendengar membawanya dan menghafalnya tanpa mengetahui maknanya dan maksudnya yang sesungguhnya, atau apa sebabnya. Kalangan sahabat Rasulullah semua tidak biasa mengajukan pertanyaan dan menanyakan maknanya kepada beliau; sebenarnya mereka selalu menginginkan seorang Badui atau orang asing datang dan menanyakan kepada beliau SAWW supaya mereka pun dapat mendengarkan. Bilamana suatu hal semacam itu terjadi pada saya, saya bertanya kepada beliau tentang artinya dan memeliharanya. Itulah sebab dan dasar perbedaan di kalangan orang tentang hadis-hadis mereka. •


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Orang itu ialah Sulaim ibn Qais al-Hilali yang merupakan salah seorang periwayat hadis melalui Amirul Mukminin.

[2] Dalam Khotbah ini Amirul Mukminin membagi-bagi para periwayat hadis dalam empat kategori.

Kategori pertama, seseorang mengada-adakan sebuah hadis lalu mengatributkannya kepada Nabi. Hadis-hadis palsu ini dan diatributkan kepada beliau, dan proses ini berlanjut, dengan hasil munculnya banyak hadis baru. Ini suatu kenyataan yang tak tersangkal. Tetapi, bilamana seseorang menyangkalnya, basisnya bukan pengetahuan atau kearifan melainkan kebutuhan oratoris atau argumentatif. Maka, pada suatu ketika 'Allamul Huda Sayid al-Murtadha berkesempatan bertemu dengan seorang ulama Sunni dalam konfrontasi dan pada kesempatan itu Sayid al-Murtadha membuktikan dengan fakta-fakta sejarah bahwa hasis-hadis tentang keutamaan para sahabat besar telah diada-adakan dan palsu. Atasnya, ulama Sunni itu membantah bahwa mustahil bahwa ada seorang berani mengucapkan suatu dusta terhadap Nabi dan mengada-adakan hadis sendiri lalu mengatributkannya kepada beliau. Sayid Murtadha mengatakan bahwa ada hadis Nabi menyebutkan, "Banyak hal-hal batil akan diatributkan kepada saya setelah saya mati, dan barangsiapa berkata dusta tentang saya sedialah kediamannya di neraka. (al-Bukhârî, I, h. 38, II, h. 102, IV, h. 207, VIII, h. 54; Muslim, VIII, h. 229; Abû Dawûd, III, h. 319-320; Tirmidzî, IV, h. 524, V, h. 35-36, 40, 199, 634; Ibn Mâjah, I, h. 13-15)

Apabila Anda memandang hadis ini benar, maka Anda harus menyetujui bahwa hal-hal batil telah diatributkan kepada Nabi; tetapi bila Anda memandangnya batil (palsu) maka ini akan membenarkan pendapat kami." Namun, orang-orang itu berhati munafik dan yang biasa mengada-adakan "hadis" mereka sendiri untuk menciptakan bencana dan perpecahan dalam agama dan menyesatkan kaum Muslim yang berkeyakinan lemah. Mereka tetap bercampur dengan kaum Muslim sebagaimana mereka lakukan di masa hidup Nabi; dan sebagaimana mereka tetap sibuk dalam kegiatan-kegiatan membawa bencana dan kehancuran di hari-hari itu, demikian pula setelah Nabi pun mereka tak ragu-ragu untuk mengubah ajaran Islam dan mengubah wajahnya. Malah, di masa Nabi mereka selalu takut kalau-kalau beliau mengungkapkan tabir dan mempermalukan mereka, tetapi setelah wafatnya Nabi kegiatan munafik mereka meningkat dan mereka mengatributkan hal-hal batil kepada Nabi tanpa merisaukan akhir nasib mereka sendiri. Dan orang-orang yang mendengarkan mereka mempercayai mereka karena status mereka sebagai sahabat Nabi, dengan berpikir bahwa apa saja yang mereka katakan adalah tepat dan apa saja yang mereka berikan adalah benar. Kemudian, kepercayaan bahwa semua sahabat itu benar menjadi pembungkam lidah, yang menyebabkan mereka dianggap di luar kritik, pertanyaan, pembahasan dan sensor. Di samping itu, kineija mereka yang mencolok membuat meieka menonjol di mata pemerintah dan karena itu pula diperlukan keberanian untuk berbicara melawan mereka. Ini dibuktikan oleh kata-kata Amirul Mukminin,

"Orang-orang ini beroleh kedudukan pada para pemimpin kesesatan dan penyeru ke neraka, melalui kebatilan dan fitnah. Maka, mereka (penguasa) menempatkannya pada kedudukan tinggi dan menjadikannya pejabat di atas kepala rakyat."

Bersama dengan penghancuran Islam, kaum munafik juga bertujuan menumpuk harta. Mereka berbuat demikian secara bebas sambil mengaku Muslim, yang karenanya mereka tidak hendak melepaskan kedok Islam dan keluar secara terbuka, melainkan meneruskan kegiatan setani mereka dalam jubah Islam dan menyibukkan diri dalam penghancurannya secara mendasar dan menyebarkan perpecahan dengan mengada-adakan hadis palsu. Sehubungan dengan ini Ibn Abil Hadîd menulis,

"Bilamana mereka dibiarkan bebas, mereka pun meninggalkan banyak hal. Bilamana rakyat berlaku diam tentang mereka, mereka pun berlaku diam tentang Islam, tetapi mereka terus melanjutkan kegiatan gelap mereka seperti pemalsuan hadis yang disinggung Amirul Mukminin, karena banyak hal yang tak benar telah dicampuradukkan dengan hadis oleh sekelompok orang yang berkepercayaan batil yang bertujuan sesat dan memutarbalikkan pandangan dan kepercayaan, sementara sebagian dari mereka juga bertujuan menonjol- nonjolkan suatu pihak tertentu dengan siapa mereka mempunyai tujuan-tujuan duniawi lain pula."

Setelah lewatnya masa itu, ketika Mu'awiyah mengambil alih kepemimpinan agama dan menduduki tahta kekuasaan duniawi, ia membuka suatu bagian resmi untuk memproduksi hadis palsu, dan memerintahkan para pejabatnya untuk mengada-adakan hadis dan mempopulerkannya dalam menistakan Ahlulbait Nabi, dan dalam menonjol-nonjolkan 'Utsman dan Bani Umayyah, dan menjanjikan hadiah dan pemberian tanah untuk perbuatan itu. Akibatnya, banyak hadis tentang keutamaan yang dibuat-buat beroleh jalan masuk ke dalam kitab-kitab hadis. Maka, Abul Hasan al-Madâ'inî menulis dalam kitabnya Kitab al-Ahdats dan dikutip oleh Ibn Abil Hadîd, yakni,

"Mu'awiah menulis kepada para pejabatnya bahwa mereka harus memperhatikan secara khusus orang-orang yang terpaut kepada 'Utsman, para pembela dan pencintanya, untuk menghadiahkan kedudukan tinggi, keutamaan dan kehormatan kepada orang-orang yang mriwayatkan hadis-hadis tentang keutamaannya dan keislimeaannya, dan menyampaikan kepadanya apa saja yang diriwayatkan tentang seseorang, bersama namanya, nama ayahnya dan nama sukunya. Para pejabatnya berbuat sesuai dengan itu dan mengumpulkan hadis-hadis tentang keutamaan dan keistimewaan 'Utsman, karena Mu'awiah biasa memberi hadiah, pakaian dan tanah kepada mereka."

Bilamana hadis-hadis palsu tentang keutamaan 'Utsman itu telah tersiar di seluruh kerajaan, maka dengan gagasan bahwa kedudukan para khalifah yang sebelumnya tak boleh tetap rendah, Mu'awiyah menulis kepada para pejabatnya,

"Segera setelah Anda menerima perintah saya ini, Anda harus memanggil rakyat untuk mempersiapkan hadis-hadis tentang keutamaan para sahabat dan para khalifah lain pula, dan perhatikanlah bahwa apabila seorang Muslim meriwayatkan suatu hadis tentang 'Abfl Turab ('Ali), Anda harus menyediakan suatu hadis yang sama tentang para sahabat untuk melawannya, karena hal ini memberikan kepada saya kegembiraan besar dan kesejukan di mata saya, dan hal itu melemahkan kedudukan Abu Turab dan orang-orang yang beipihak kepadanya, dan lebih keras terhadap mereka daripada keutamaan dan keistimewaan 'Utsman."

Ketika surat-suratnya dibacakan kepada rakyat, sejumlah besar hadis semacam itu diiiwayatkan, yang memuji-muji para sahabat, yang dibuat-buat tanpa mengandung kebenaran. (Syarh Nahjul Balâghah, XI, h. 43-47)

Dalam hubungan ini Abu 'Abdullah Ibrahim ibn 'Arafah yang dikenal sebagai Nifthawaih (244-323 H./856-935 M.), ulama dan pakar hadis terkemuka, menulis, dan Ibn Abil Hadîd mengutipnya,

"Kebanyakan dari hadis palsu tentang keutamaan para sahabat dibikin di zaman Mu'awiah untuk beroleh kedudukan di hadapannya, karena menurut pandangannya dengan cara itu ia dapat menghina dan merendahkan Bani Hâsyim." (ibid)

Setelah itu pemalsuan hadis menjadi suatu kebiasaan; para pencari dunia menjadikannya sarana untuk mendapatkan kedudukan di sisi para raja dan bangsawan, dan untuk mengumpul kekayaan. Misalnya, Ghiyât ibn Ibrahim an-Nakha'î (abad kedua Hijrah) membuat suatu hadis tentang terbangnya merpati untuk menghibur Khalifah 'Abbasiah al-Mahdi ibn Manshflr dan beroleh kedudukan di sisinya. (Tarikh al-Baghdâdî, XH, h. 323-327; Mîzânu I'tidâl, m, h. 337-338; Lisân al-Mîzân, IV, h. 422). Abu Sa'id al-Madâ'inî dan lain-lain menjadikannya sarana untuk mencari rezeki. Puncaknya ercapai ketika al-Karramiyyah dan sebagian al-Mutashawwifah memberikan penetapan bahwa mengada-adakan hadis untuk mencegah dosa atau untuk meyakinkan ke arah ketaatan adalah halal. Akibatnya, sehubungan dengan amar makruf nahi mungkar, hadis-hadis diada-adakan dengan bebas, dan ini tidak dipandang bertentangan dengan hukum agama atau moral. Malah pekerjaan ini pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang berpenampilan pertapa atau takwa, yang melewati malamnya dalam salat dan doa dan mengisi siang harinya dengan daftar pembuatan hadis palsunya. Suatu gagasan tentang jumlah hadis palsu ini dapat diperoleh pada kenyataan bahwa dari 600.000 hadis, al-Bukhari memilih 2.761 hadis (Târîkh al-Baghdâdî, II, h. 8; Shifatush-Shafwah, IV, h. 143), Muslim merasa pantas memilih 4.000 dari 300.000 (Târîkh Al-Baghâdî, XIII, h. 101; al-Muntazham, V, h. 32; Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 151, 157; Wafayât al-A'yân, V, h. 194). Abu Dawud mengambil 4.800 dari 500.000 (Târîkh al-Baghdâdî, IX, h. 57; Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 154; al-Muntazham, V, h. 97; Wafayât al-A 'yân, II, h. 404; dan Ahmad ibn Hanbal mengambil 30.000 dari hampir 1.000.000 hadis (Târîkh al-Baghdâdî, IV, h. 419-420; Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 17; Wafayât al-A'yân, I, h. 64; Tahdzîb at-Tahdzîb, I, h. 74). Akan tetapi, bila pilihan ini dikaji, beberapa hadis darinya sama sekali mustahil diatributkan kepada Nabi. Hasilnya ialah bahwa sekelompok besar telah muncul di kalangan kaum Muslim yang, mengingat kitab-kitab yang disebut koleksi hadis yang otoritatif dan benar ini, sepenuhnya menolak nilai pembuktian hadis. (Untuk rujukan selanjutnya, lihatlah al-Ghadîr, V, h. 208-378)

Kategori kedua, para perawi hadis adalah orang-orang yang, tanpa menilai waktu atau konteksnya, meriwayatkan apa saja yang mereka ingat, benar atau salah. Maka, dalam al-Bukhari (jilid II, h. 100-102; jilid V, h. 98), Muslim (jilid III, h. 41-45); Tirmidzi (jilid III, h. 327-329); an-Nasa'i (jilid IV, h. 18); Ibn Majah (jilid I, h. 508-509); Malik ibn Anas (al-Muwaththa', jilid I, h. 234; Syafi'i (Ikhtilâful Hadîs, pada garis pinggir tentang "al-Umm", jilid VII, h. 41, 42) dan al-Baihaqi (jilid IV, h. 72-74) dalam bab berjudul "Menangisi Orang Mati" dinyatakan bahwa ketika Khalifah 'Umar terluka, Shuhaib datang kepadanya sambil menangis, lalu 'Umar berkata,

"Ya Shuhaib, janganlah menangisi saya, sedang Nabi telah mengatakan bahwa orang mati dihukum apabila kaumnya menangisinya."

Setelah meninggalnya Khalifah 'Umar, ketika hal ini disebutkan kepada 'A'isyah, ia berkata, "Semoga Allah menaruh kasihan kepada 'Umar. Rasulullah tidak mengatakan bahwa menangisi kerabat menyebabkan hukuman kepada si mati; beliau mengatakan bahwa hukuman bagi seorang kafir bertambah apabila kaumnya menangisinya." Setelah itu 'A'isyah mengatakan bahwa menurut Al-Qur'an tak seorang pun akan memikul beban (dosa) orang lain, maka mengapa beban (dosa) orang yang menangisi akan ditimpakan kepada si mati. Setelah itu 'A'isyah mengutip ayat,

"... Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri...." (QS. 6:164; 17:15; 35:18; 39:7; 53:38)

Istri Nabi, 'A'isyah, meriwayatkan bahwa pada suatu hari Nabi melewati seorang wanita Yahudi yang sedang ditangisi kaumnya. Nabi lalu berkata, "Kaumnya sedang menangisinya tetapi ia sedang mengalami hukuman di kubur."

Kategori ketiga, periwayat hadis adalah orang-orang yang mendengar hadis yang telah dinasakh dari Nabi tetapi tidak mendapat kesempatan untuk mendengarkan hadis yang menasakhnya yang dapat dihubungkannya kepada hadis yang dinasakh. Suatu contoh hadis yang menasakh ialah ucapan Nabi yang mengandung rujukan kepada hadis yang telah dinasakh, yakni, "Saya (dahulunya) telah melarang Anda menziarahi kubur, tetapi sekarang Anda boleh menziarahinya." (Muslim, III, h. 65; Tirmidzî, II, h. 370; Abu Dawud, III, h, 218, 332; an-Nasa'i, IV, h. 89; Ibn Majah, I, h. 500-501; Mâlik ibn Anas, II, h. 485; Ahmad ibn Hanbal, I, h. 145, 452; II, h. 38, 63, 66, 237, 350; V, h. 350, 355, 356, 357, 359, 361; al-Hakim, al-Mustadrak, I, h. 374-376; dan al-Baihaqi, IV, h. 76-77). Di sini izin ziarah kubur telah menasakh larangan sebelumnya. Sekarang, orang yang hanya mendengarkan hadis yang telah dinasakh itu terus bertindak sesuai dengan itu.

Kategori keempat, periwayat hadis ialah orang-orang yang sepenuhnya mengetahui prinsip-prinsip keadilan, memiliki kecerdasan dan kearifan, mengetahui saat ketika suatu hadis mula-mula diucapkan Nabi, dan juga mengenali hadis-hadis yang menasakh dan yang dinasakh, yang khusus dan yang umum, dan yang bersifat sementara dan yang mutlak. Mereka menjauhi kebatilan dan pemalsuan. Segala yang mereka dengar tetap terpelihara dalam ingatan mereka, dan mereka menyampaikannya dengan tepat kepada orang lain. Hadis-hadis dari merekalah yang merupakan milik Islam yang amat berharga, bebas dari penipuan dan pemalsuan, dan patut diandalkan dan diamalkan. Koleksi hadis-hadis yang telah disampaikan melalui pribadi seperti Amirul Mukminin dalam pengetahuan Islam tetap terbebas dari pemotongan, pemangkasan, atau perubahan, secara tegas menyuguhkan Islam dalam bentuknya yang sebenarnya. Kedudukan Amirul Mukminin telah terbukti dengan amat pasti melalui hadis-hadis berikut dari Nabi, seperti: Amirul Mukminin, Jabir ibn 'Abdullah, Ibn 'Abbas dan 'Abdullah ibn 'Umar telah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau berkata,

"Saya adalah kota ilmu dan 'Ali adalah pintunya. Orang yang hendak mendapatkan ilmu (saya) harus datang melalui pintunya." (al-Mustadrak, III, h. 126-127; al-Istî'âb, III, h. 1102; Usd al-Ghâbah, IV, h. 22; Tarikh al-Baghdâdî, II, h. 377; Vn, h. 172; XI, h. 48-50; Tadzkirah al-HuffâTh, Majma' az-Zawâ'id, X, h. 114; Tahdzîb at-Tahdzîb, VI, h. 320; VII, h. 337; Lisân al-Mîzân, II, h. 122-123; Târîkh al-Khulafâ', h. 170; Kanz al-'Ummâl, VI, h. 152, 156, 401); 'Umdah al-Qârî, VII, h. 631; Syarh al-Mawâhib al-Ladunniyyah, III, h. 143)

Amirul Mukminin dan Ibn 'Abbas juga telah meriwayatkan dari Nabi (saw) bahwa:

"Saya adalah gudang kearifan dan 'Ali adalah pintunya. Orang yang hendak mendapatkan kearifan harus datang melalui pintunya." (Hilyah al-Auliyâ', I, h. 64; Mashâbih as-Sunah, II, h. 275; Târîkh al-Baghdâdî, XI, h. 204; Kanz al-'Ummâl, VI, h. 401; ar-Riyâdh an-Nadhirah, II, h. 193)

Alangkah baiknya apabila manusia dapat mengambil berkah Nabi melalui sumber-sumber pengetahuan ini. Tetapi adalah suatu bab tragis dalam sejarah bahwa walaupun hadis-hadis melalui kaum Khariji dan musuh-musuh keluarga Nabi diterima, namun bilamana rangkaian perawi meliputi nama seseorang dari kalangan keluarga Nabi, terdapat suatu keraguan untuk menerima hadis itu.

ULAMAK PEWARIS NABI?


Imam Ma'shum


Mengapa saudara-saudara keberatan bila seorang muslim yang salih, yang tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh orang yang tidak berdosa, yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya disebut terjaga dari dosa? Apakah saudara-saudara menganut paham dosa warisan atau 'original sin'?
Apalagi Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan (segala) kenistaan dari padamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Ahzab: 33).
Yang dimaksud Al-Qur'an adalah 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.
Ahlussunah pun percaya bahwa semua sahabat adil, dan semua tindakan mereka adalah ijtihad. Dan tindakan mereka mendapat pahala termasuk diantaranya sahabat yang melaksanakan pembunuhan berdarah dingin, pezinah, pemabuk, pembohong, pembakar orang hidup-hidup atau memerangi Imam zamannya dan perbuatan-perbuatan yang tidak terlukiskan dengan kata-kata.
Ada juga kisah Khalid bin walid yang memenggal kepala Malik bin Nuwairah 1 dan memperkosa istri Malik yang cantik malam itu juga. Ia menggunakan kepala Malik sebagai tungku.
Ini bukan tuduhan kaum Syi'ah, tetapi catatan sejarawan Sunni! Umar bin Khattab menyebut Khalid bin Walid sebagai pembunuh dan pezinah yang harus dirajam. Abu Bakar menyatakan bahwa Khalid hanya sekedar salah ijtihad, dan menamakannya 'saifullah' atau pedang Allah. "Aku tidak akan menyarungkan pedang yang telah dihunus Allah untuk memerangi musuh-musuhNya.", kata Abu Bakar.
Khalid pula yang membakar Bani Salim hidup-hidup di zaman Abu Bakar. Umar mengingatkan Abu Bakar, dengan membawa hadits Rasulullah SAWW bahwa tidak boleh menghukum dengan hukuman yang hanya Allah boleh melakukannya. Dan Abu Bakar mengatakan, seperti diatas "Aku tidak akan menyarungkan pedang yang telah dihunus Allah untuk memerangi musuh-musuhNya." Banyak pula ulah Khalid yang lain, yang oleh 'Abdurrahman bin 'Auf dikatakan sebagai perbuatan jahiliyah, yaitu tatkala ia membunuh Bani Jazimah secara berdarah dingin.
Baca buku-buku yang berada dalam lemari saudara-saudara. Sekali lagi, tuduhan ini disampaikan oleh Umar bin Khattab, Ibnu Umar dan Abu Darda'. Kedua sahabat terakhir ini, ikut dalam pasukan Khalid dan membuat penyaksian.
Peristiwa inilah yang melahirkan adagium di kemudian hari bawah semua sahabat itu adil dan tiap tindakan mereka merupakan ijtihad dan kalau benar mereka dapat dua pahala, kalau salah satu pahala.
Pantaslah kalau Mu'awiyah yang meracuni Hasan, cucu Rasulullah, atau 'Abdullah bin Zubair yang hendak membakar Ahlul Bait di gua 'Arim atau Yazid yang membantai cucu Rasulullah, Husain dan keluarganya di Karbala, mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan 'sunah' atau contoh para sahabat sebelumnya.
Umar memecat Khalid bin Walid --yang oleh sejarawan disebut sebagai shahibul khumur, pemabuk-- tatkala Umar menggantikan Abu Bakar dikemudian hari.
Apakah orang Syi'ah harus mengangkat mereka sebagai Imam? Sebab memiliki Imam, wajib hukumnya? Bukankah Rasulullah SAWW bersabda: "Barangsiapa tidak mengenal Imam zamannya, ia mati dalam keadaan jahiliyah."? Dan hadits yang mengatakan bahwa sepeninggal Rasulullah SAWW ada 12 Imam, yang semuanya dari keturunan Quraisy. Bacalah hadits-hadits shahih enam seperti Bukhari dan Muslim!
Mengkritik akidah mazhab lain tidak boleh berdasarkan prasangka dan sinisme. Hormatilah akidah mereka. Benarlah kata orang, "Jangan melempar rumah orang lain bila rumah Anda terbuat dari kaca."
Bacalah buku sejarah. Bukan 'asal ngomonng'. Bukan zamannya lagi berbohong dengan ayat-ayat dan hadits, sebab umat sekarang sudah banyak yang pandai.
1 Malik bin Nuwairah adalah sahabat pengumpul zakat yang ditunjuk Rasulullah SAWW, dan oleh Rasulullah SAWW dikatakan sebagai ahli surga.

TAMBAHAN PADA KALIMAH SYAHADAH?

Adzan Syi'ah Berbeda dengan Adzan Sunnah

Saudara-saudara tidak lengkap membicarakan lafal adzan dan iqamah. Saudara-saudara 'lupa' menyampaikan lafal adzan dan iqamah sesungguhnya. Yang pasti di zaman Rasulullah SAWW berbunyi sebagai berikut:
Lafal Adzan
Allaahu akbar(Kalimat diatas, sama dalam kedua mazhab, diucapkan 4x)
Asyhadu an-laa ilaaha illa'llaahAsyhadu anna Muhammadar' RasuulullaahHayya 'ala ShalaahHayya ala'l falaah(Semua kalimat diatas, sama dalam kedua mazhab, diucapkan 2x)
Hayya 'ala khairi'l amaal(Kalimat diatas hanya dalam mazhab Syi'ah, diucapkan 2x)
Allaahu akbar,Allaahu akbarLaa ilaaha illa'llaah(Kalimat diatas, sama dalam kedua mazhab, diucapkan masing-masing 2x)
Ash-shalaatu khairun min an-naum(Kalimat yang diucapkan dalam shalat shubuh diatas hanya dalam mazhab Sunnah, diucapkan 2x)
Dalam al-iqamah, semua kalimat diatas diucapkan sekali kecuali Allaahu akbar diucapkan dua kali.
Apakah saudara-saudara sudah mempelajari hadits-hadits dan sejarah adzan ini?
Memang Syi'ah, sesudah membaca "Hayya 'alaa'l falaah" (Marilah kita mencapai kemenangan) membaca "Hayya 'alaa khairil 'amaal" (Marilah membuat amal shalih).
Apakah kalimat Hayya 'alaa khairil 'amaal itu buatan Syi'ah?
Kalimat ini dilafalkan dimasa Rasulullah SAWW. Bacalah tulisan ulama Sunni seperti Baihaqi dalam Sunan jilid I, hal, 524, 525; Sirah Halabiyah jilid II, hal. 105; Maqaati'l Ath-Thalibin, hal 297; Adz-Dzahabi dalam Mizaan al-I'tidaal jilid I, hal. 139; Lisaan'l-Mizaan jilid I, hal. 268 dan banyak lagi yang lainnya. Juga terdapat dalam hadits-hadits orang Syi'ah.
Umar bin Khattab tuk lebih 'memacu semangat' jihad karena kalimat ini dianggap akan melemahkan semangat jihad tersebut. Umar berkata, "Ada tiga hal yang dijalankan di zaman Rasulullah SAWW dan aku melarangnya dan aku akan menghukum mereka yang melaksanakannya; kawin mut'ah, haji mut'ah, dan Hayya 'ala khairi'l amaal."
Kaum Syi'ah tatkala mengucapkan kalimat syahadat sering menambahkan "Asyhadu anna 'Aliyyan waliiyullaah" Hal ini disebabkan pidato Rasulullah SAWW di Ghadir Khum, sesudah Haji Perpisahan, sekitar 80 hari sebelum beliau wafat. Bukan hadits lemah dikalangan Sunni, yaitu tatkala Rasulullah SAWW bersabda:
"Man kuntu maulaahu fa 'Aliyyun maulaahu. Allaahumma waali man walaahu wa 'aadi man 'aadaahu"(Barang siapa menganggap aku sebagai walinya, maka 'Ali juga adalah walinya. Allaahumma, ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya).
Dan semua sahabat memberi selamat, termasuk Umar bin Khattab. Para sejarawan mencatat kata-kata yang diucapkan Umar:
"Bakhin, bakhin, laka, ya aba'l hasan, anta maulaaya, wa maulaa kullu mu'minin wa mu'minatin."(Selamat ayah Hasan, engkau adalah waliku dan wali kaum mu'minin dan mu'minat).
Dan ada pula dengan lafal "Thuuba laka" atau "hanii'an laka" yang punya arti serupa dan diriwayatkan oleh sekitar 110 sahabat.
Dan tatkala turun ayat:
"Innallaaha wa malaa'ikatahu yushalluuna 'ala'n-Nabii, yaa ayyuha'l ladziina aamanuu shalluu 'alaihi wa sallimu tasliiman", yang artinya "Sungguh, Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi, Hai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah atasnya, dan berilah salam kepadanya dengan sehormat-hormat salam!" (QS. Al-Ahzab: 56).
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAWW tentang cara bershalawat kepada Nabi, Rasulullah SAWW menjawab "Ucapkanlah 'Allahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'aali Muhammad', (Ya Allah, shalawatilah Muhammad dan keluarga Muhammad)"
Karena itulah maka para ulama seperti Imam Syafi'i mengatakan tatkala dituduh rafidhah (yang berarti melakukan desersi dari kedua syaikh, Abu Bakar dan Umar atau yang lebih mengutamakan 'Ali daripada kedua syaikh tersebut), menjawab, "Bila mencintai Ahlu'l Bait aku dituduh rafidhah, orang dulu punya peribahasa, tunjukkan kepadaku seorang rafidhah yang kecil, akan aku tunjuk kepadamu seorang Syi'ah yang besar!. Kalau aku dituduh demikian maka saksikanlah oleh seluruh jin dan manusia bahwa aku memang seorang rafidhi! Sebab shalatku tidak sah bila aku tidak bershalawat kepada Ahlul'l Bait!"
Tapi orang Syi'ah mengetahui betul bahwa kalimat Asyhadu anna 'Aliyyan waliiyullaah bukan merupakan bagian integral dari adzan dan iqamah. Kalimat ini hanya merupakan kebolehan, optional, seperti kalimat Allahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'aali Muhammad.
Kalimat Ash-shalaatu khairun min an-naum (Shalat lebih baik daripada tidur) adalah tambahan dari Umar bin Khattab. Sekali lagi, baca!

KAFIRKAH KAUM SYI`AH?

Laporan harian Republika tentang seminar itu dengan judul 'Para Ulama Sepakat, Sulit Pertemukan Faham Syi'ah dan Sunni', sangat rapi dan bagus. (Republika, 22 September 1997, hal. 2).
Saya memang sudah menduga, seminar ini akan berlangsung dua atau tiga hari sebelum tanggal 23 September 1997, hari ulang tahun Kerajaan Saudi Arabia. Tapi saya mengira tidak akan berlangsung pada ulang tahun ke-65 ini, sebab pemerintah Saudi pada tahun ini baru saja menyatakan perlunya kerukunan beragama.
Apakah saudara-saudara ingin mengkafirkan negara sahabat, Kerajaan Saudi, karena membolehkan sekitar 200.000 orang Syi'ah yang saudara-saudara kafirkan, memasuki Ka'bah setiap tahun untuk beribadah Haji?
Tahukah saudara-saudara bahwa pada tahun 1994 Kerajaan Saudi telah mendirikan Dewan Syura yang terdiri dari 60 orang dan enam diantaranya pemeluk Syi'ah sesuai dengan jumlah penduduk Syi'ah di negara itu?
Alasan lain yang mengherankan saya, seminar ini diadakan justru tatkala presiden Soeharto baru saja menganjurkan dibina kerukunan beragama, menghindari penjelekan atau penyerangan terhadap mazhab lain.
Kita hidup di negara beradab, bukan di zaman Mu'awiyyah!
Apalagi ini berlangsung pada saat kaum muslimin sedunia sedang menghadapi masalah-masalah pelik seperti kejadian di Bosnia, Chechnya, Azerbaijan, Libanon, Palestina, Afghanistan, Sudan, Irak, Aljazair dan Morro, yang memerlukan bantuan agar perdamaian dapat timbul disana.
Alangkah baiknya bila biaya seminar ini dikeluarkan untuk mebantu anak-anak cacat korban perang Bosnia, Chechnya, Afghanistan, dan kelaparan di Irak. Selama ini yang memperjuangkan mereka malah bintang film Elizabeth Taylor. Kita mestinya malu.
Kita juga sedang sedih menghadapi musibah moneter maupun bencana pengotoran udara, yang membuat kita merasa berdosa kepada negara tetangga.
Kita membutuhkan bantuan pikiran dan tenaga semua warga untuk keprihatinan ini. Bukankah Rasulullah SAWW bersabda: "Barang siapa yang tidak merasa prihatin dan tidak memikirkan masalah-masalah kaum muslimin maka dia bukanlah dari kaum muslimin"?

AKU TINGGALKAN AL-QURAN DAN SUNNAH?

Hadist Tsaqalain: Dua Warisan Terberat Dari Rasulullah SAWW.

Hadist Tsaqalayn adalah hadits yang mempunyai arti penting dalam sejarah Islam. Karena selain karena urgensinya, hadits ini juga merupakan hadits yang paling banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan. Dimana sebagian orang menganggap hadist ini tidak tawwatur bahkan dha'if, sementara di pihak lain banyak juga yang mencari tahu dan berusaha membuktikan keshahihan bahkan ke'tawwatur'an hadits ini.
Meluasnya perbedaan pandangan dari kedua pihak ini tidak saja disebabkan karena terjadinya 'kericuhan' poltitik pasca wafatnya rasulullah, melainkan juga karena adanya upaya-upaya dari beberapa pihak untuk menegakkan suatu ideologi yang mereka bentuk. Namun demikian terlepas dari segala kepentingan tersebut, hadits ini dapat dibuktikan keberadaannya.
Paling tidak terdapat dua macam redaksi dari hadits Tsaqalayn :
Hadits yang berbunyi kurang-lebih : "Inniy taraktu fiykum tsaqalayn, maa in tamassaktum bihima lan tadlillu ba'diy: Kitaballah wa sunnatiy".
Hadits yang berbunyi kurang-lebih : "Inniy taraktu fiykum tsaqalayn, maa in tamassaktum bihima lan tadlillu ba'diy: Kitaballah wa 'Itraty".
Dari kedua hadits tersebut yang lebih populer adalah jenis yang pertama. Karena hadits tersebut merupakan hadist yang menjadi landasan utama tegaknya mazhab Ahlussunah wal Jama'ah. Sedangkan hadist yang kedua merupakan hadist yang kurang populer, jarang disebut-sebut apalagi di depan publik.
Kurangnya popularitas tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan:
Bernarkah terdapat hadits tsaqalayn dengan redaksi yang seperti tersebut pada nombor 2 diatas?
Jikalau ada, apakah hadits tersebut shahih atau bahkan mutawwatir?
Jika memang terbukti ada atau bahkan mutawwatir, maka mengapa tidak populer, atau bahkan orang enggan mempublikasikannya?
Penelitian Tentang Hadist Tsaqalayn
Menurut beberapa riwayat yang berhasil dihimpun, paling tidak ada beberapa kali Rasulullah SAWW. menyebutkan hadits tersebut ditempat yang berlainan.
1. Pada Hari Arafah
At-Tirmidzy meriwayatkan dari Jabir Ibn Abdullah :


"Dari Jabir Ibn Abdullah berkata: Aku melilhat Rasulullah SAWW. pada hajinya di Hari Arafah dan Beliau duduk di atas unta Al-Qaswa' maka Beliau berkhutbah kemudian bersabda: 'Wahai pada manusia, Sesunggunhnya aku tinggalkan pada kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan sesat, yakni Kitab Allah dan keluargaku.'"
Imam At-Tirmidzy menyatakan bahwa hadist yang serupa juga di riwayatkan oleh Abu Dzarr, Abu Sa`id, Zayd ibn Arqam dan Hudzayfah ibn Usayd.
Diantara imam hadits yang juga meriwayatkannya adalah :

Al­Hafiz Ibn Abi Syaybah, sebagaimana dalam Kanz al­`ummal (Edisi I), Juz I, hal. 48;
Al­-`Uqayli dalam al­Du`afa' al-Kabir, Juz II, hal. 250;
Al­-Hakim al­Tirmidhi, Nawadir al-'Usul, 68, 50th;
Ath-­Tabarani, al­Mu`jam al-Kabir, Juz III, hal. 63, no. 2679;
al­Khatib, al­Muttafiq wa al­-muftariq, dari Kanz al­`ummal, Juz I, hal. 48 dan Majma' al­zawa'id, Juz V, hal. 195; Juz IX, hal. 163; Juz X, hal. 363, hal. 268;
Al-­Baghawi, al-Masabih, Juz II, hal. 206;
Ibn al­'Athir, Jami` al­'usul, Juz I, hal. 277, no. 65;
AR-Rafi`i, At-­Tadwin, Juz II, hal. 264 (dalam catatan biografi Ahmad ibn Mihran al­Qattan; pada cetakan versi India hadits ini dihapus, sedangkan pada manuskrip buku tersebut, hadits ini tertulis.);
Al-­Mizzi, Tahzib al­kamal, Juz X, hal. 51, dan Tuhfat al­-'Asyraf, Juz II, hal. 278, no. 2615;
Al­- Qadi al­Baydawi, Tuhfat al-­'Asyraf;
Al-­Khawarizmi, Maqtal al­Husayn (A), Juz I, hal. 144;
Al-­Khatib Al-­Tabrizi, Mishkat al­-Masabih, Ju

MENANGIZLAH WAHAI SYIAH A`LI...























































































































































































































































































































































































































MUSHAFF FATHEEMAH?


Al-Quran kaum Syi'i dan sunni sama dan itu-itu juga. Silahkan para anggota seminar memasuki masjid-masjid dan rumah-rumah kaum Syi'i di Saudi Arabia, Libanon, Iran, Irak, Bahrain atau pun Azerbaijan dan dimana saja orang Syi'ah itu berada. Saudara-saudara tidak akan menemukan Al-Quran yang lain.
Jangan berkata sesuatu by hearsay. Alangkah mudah saudara-saudara menyurati kantor-kantor kedutaan kita di negeri-negeri tersebut dan memohon mereka untuk membelikan untuk saudara sebuah Al-Quran. Lihatlah isinya, adakah perbedaan dengan Al-Quran di rumah saudara?
Orang-orang Syi'ah telah membantah tuduhan-tuduhan yang tidak berguna ini. Saudara Nurcholis Madjid, seingat saya, pernah membantah saudara-saudara dalam suatu seminar beberapa tahun lalu, seperti dimuat di beberapa koran ibukota. Beliau meunjukkan 'Al-Quran Syi'ah' dan mengatakan bahwa kalau pun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah karena 'Al-Quran Syi'ah' rata-rata lebih indah dari Al-Quran kita. Ini karena orang-orang Syi'ah berpendapat bahwa Kitabullah haruslah dicetak lebih indah dari semua buku lain.
Jangan membicarakan Syi'i yang fanatik, kaum ghulat, karena pengecualian tidak dapat mewakili golongan terbanyak. Annadir la yu'tabar. Saya anjurkan saudara-saudara para ulama untuk membaca buku-buku mengenai Tahrif Al-Quran yang banyak jumlahnya.
Orang Syi'ah menganggap bahwa siapa saja yang meyakini Al-Quran kita telah berubah, maka ia telah meragukan kekuasaan Allah SWT dan tidak akan mendapat perlindungan dari-Nya karena Allah SWT telah berfirman: "Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah yang menjaganya." (QS. Al-Hijr: 9)
Mengenai Imam Khumaini (Imam Khomeini), dikatakan bahwa mengakui adanya tahrif atau perubahan dalam Al-Quran dalam bukunya Hukumah Islamiyah, seorang teman telah menyediakan uang Rp. 100,000,000.00,- (seratus juta rupiah) bila saudara-saudara dapat menunjukkan adanya pernyataan tahrif Al-Quran dalam buku tersebut!
Saudara Profesor KH. Irfan Zidny MA sebenarnya tidak hendak mencoba mematikan harga diri lawan berdebat anda dengan menonjolkan serba gelar yang anda miliki atau umur anda yang tua, atau mengejek lawan bicara anda karena tidak bisa berbahasa Arab atau Inggris atau mengecilkan tokoh yangt dihormati lawan bicara anda.
Saya bukan tidak percaya bahwa anda adalah 'teman kuliah' Imam Khomeini atau anda lebih pandai dari gurunya Imam Khomeini, dan mungkin anda telah bergelar Ayatullah, tetapi setahu saya Sayyid Khomeini tidak belajar di Irak, tetapi mengajar. Mungkin saja Anda lebih 'besar' dari gurunya Imam Khomeini tetapi jangan anda yang mengatakannya. Biarlah orang lain yang menilai. Karena argumentasi seperti ini disebut argumentasi negatif.
Orang tidak perlu belajar di Irak belasan tahun untuk disebut ulama yang pandai dan mukhlis. Orang menilai mutu pembicaraan anda dan bukan riwayat hidup anda yang ingin membungkam lawan bicara anda.
Hanya Allah SWT yang tahu iman dan akal kita selengkapnya. Anda harus ingat bahwa tidak semua teman BJ. Habibie menjadi seperti BJ. Habibie. Mungkin anda jadi murid Imam Khu'i di Irak, dan mungkin juga Imam Khomeini jadi murid Imam Khu'i bersama anda. Tapi anda harus ingat tidak semua teman BJ. Habibie menjadi seperti BJ. Habibie. Semua orang yang saya tanyai mengenai anda, tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi saya menangis, seperti anda 'menangisi' Syi'ah.
Karena saya peminat sejarah, mohon Anda sebutkan seorang nara sumber di Irak yang dapat membenarkan pernyataan anda bahwa anda telah belasan tahun seperguruan dengan Imam Khomeini, berapa umur anda dan berapa umur Imam Khomeini pada masa itu, kapan dan dimana anda belajar bersamanya. Saya ingin menyuratinya. Dan untuk itu saya ucapkan terima kasih.
Saya sebenarnya berpikir bahwa anda seharusnya jadi Mufti seluruh umat karena 'ilmu' dan 'istiqomah' anda.
Apakah NU tidak mengenal anda?
Tapi biarpun demikian, saya yakin dengan melihat lamanya pendidikan dan keteguhan pendirian anda, anda tentu telah menghasilkan banyak karya bermutu atau menjadi 'da'i besar'. Dan anda akan menjadi tempat rujukan tanpa harus membaca (buku-buku karya) Ali Syariati, HAMKA, Abu Bakar Aceh, Maududi, Sayyid Quttub, Sayyid Sabiq, Rasyid Ridha, Hassan Al-Banna, Muthahhari, Khomeini, Thabthaba'i atau Ali Khameini.
Mengapa anda sudah merasa cukup berteman dengan Thohir AlKaff dari Al-Bayyinat Nyamplungan Surabaya? Saya berteman dengan banyak orang panda dan mukhlis di Nyamplungan. Mengapa harus 'diracuni' oleh orang jenis Thohir Alkaff ini?

SIKAP TERHADAP SAHABAT!


Mengenai sikap terhadap sahabat, kaum Syi'ah berpegang pada Al-Quran dan Sunnah serta catatan sejarah. Bahwa diantara para sahabat ada juga yang lalim, seperti si munafik 'Abdullah bin 'Ubay dengan kelompoknya yang berjumlah 300 orang yang melakukan desersi sebelum perang Uhud. Lihat buku-buku sejarah Islam, seperti "Riwayat Hidup Rasulullah SAW" karangan Abul Hasan Ali Al-Hasany an-Nadwy, terjemahan Bey Arifin dan Yunus Ali Muhdhar, hal. 213 atau Ibnu Hisyam, "Sirah Nabawiyah" jilid II, hal. 213.
Atau Mu'awiyah dan para jendralnya yang melakukan pembersihan etnis dengan membunuh kaum Syi'ah secara berdarah dingin, shabran, menyembelih bayi-bayi Syi'ah, memperbudak para muslimah dan membakar kebun dan membakar manusia hidup-hidup, mengarak kepala dari kota ke kota, minum arak, berzina dan sengaja merencanakan dan membuat hadits-hadits palsu yang bertentangan dengan hukum syar'i. Mengapa saudara tidak membaca sejarah dan hadits-hadits kita sendiri?
Bila saudara-saudara menganggap cerita-cerita yang membuka 'aib' para sahabat sebagai kufur, maka tidak akan ada lagi ahli sejarah dan ahli hadits yang tidak kafir.
Syi'ah menolak hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat lalim. Mereka heran mengapa kaum Sunnah keberatan bila mereka meriwayatkan hadits-hadits dari keluarga Rasulullah sebab ayat-ayat Al-Qur'an turun dirumah mereka. Dan Rasulullah tinggal serumah dan mengajari mereka?
Mengapa mereka harus mencari hadits-hadits Abu Hurairah misalnya, yang meriwayatkan bahwa Allah menciptakan Adam seperti wajah Allah dengan panjang 60 hasta (sittuna dzira), sedang Al-Qur'an mengatakan bahwa tiada sesuatu pun yang menyerupaiNya, laisa kamitslihi syai'un, atau Nabi Musa lari telanjang bulat karena bajunya dibawa lari oleh batu, atau sapi berbahasa Arab, atau hadits yang menyatakan kalu lalat masuk ke dalam kuah, maka seluruh lalat harus dimasukkan kedalamnya sehingga menimbulkan 'perang lalat' di koran-koran Mesir karena dokter-dokter muda menolak hadits yang 'berbahaya' tersebut? Dan Allah yang turun ke langit bumi, sepertiga malam, sehingga Allah tidak punya kesempatan untuk kembali karena kesiangan?
Mengapa merekaharus berpegang pada Abu Hurairah yang oleh sahabat-sahabat besar seperti ummul mu'minin Aisyah dan Umar bin Khattab dan ulama-ulama besar seperti Ibnu Qutaibah menganggapnya sebagai pembohong? Bukankah Ibnu Qutaibah disebut sejarawan sebagai nashibi atau pembenci Ahlul Bait dan bukan Syi'ah? Baca sejarah dan hadits-hadits shahih Bukhari Muslim!
Haruslah diakui bahwa pandangan Syi'ah ini berbeda dengan kaum Sunni yang menganggap semua sahabat itu adil, 'udul, dan bila mereka membunuh atau memerangi sesama muslim, mereka akan tetap mendapat pahala. Bila tindakan mereka salah, mereka akan mendapat satu pahala dan kalau benar mendapat dua pahala.
Malah ada ulama Sunni, seperti Ibnu Katsir, Ibnu Hazm dan Ibnu Taymiyyah menganggap 'Abudrrahman bin Muljam yang membacok Imam 'Ali bin Abi Thalib yang sedang shalat shubuh sebagai mujtahid. Demikian pula pembantai Husain dan keluarganya di Karbala. Pembunuh-pembunuh cucu Rasulullah ini dianggap mendapat pahala, satu bila salah dan dua bila benar!
Suatu hari, saya kedatangan tiga orang Afghanistan. Saya tanyakan, mengapa kaum muslimin di Afghanistan saling berperang? Mereka menjawab: mereka berperang karena berijtihad seperti ummul mu'minin 'Aisyah yang memerangi 'Ali dalam perang Jamal. Kalau benar dapat dua pahala dan kalau salah dapat satu. Dan saya dengar, koran-koran Jakarta pun telah memuat keyakinan mereka ini.
Kaum Thaliban di Afghanistan, yang punya pendapat seperti ini, yang mengurung dan tidak membolehkan wanita bekerja atau sekolah bukanlah Syi'ah, tetapi kaum Wahabi!
Sebaliknya kaum Syi'ah juga berpendapat bahwa banyak pula sahabat yang mulia, yang harus diteladani kaum muslimin.
Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa diantara para sahabat ada yang 'kufur' dan 'munafik'. (Termasuk ayat-ayat terakhir bacalah At-Taubah ayat 48, 97).
Banyak sekali hadits-hadits seperti hadits Al-Haudh, diantaranya tercatat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Mereka membenarkan ayat Al-Qur'an tersebut dan menceritakan adanya sekelompok sahabat digiring ke neraka dan tatkala ditanya Rasul, ada suara yang menjawab "Engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sesudahmu". Ahli-ahli sejarah kita dengan gamblang menggambarkan ulah beberapa sahabat tersebut.
Apakah pandangan Syi;ah tersebut 'kufur' atau 'sesat'? Apakah mereka harus dikafirkan karena keyakinan mereka itu? Kita boleh menyesali perbedaan itu, tetapi perbedaan ini menyangkut masalah cabang agama bukan pokok, bukan ushuluddin.

Ayatullah Al-Uzhma Sayyid Ali Huseini Khamenei

Photobucket "Jika anda mencari seseorang seperti sayyid Khamenei yang sangat berpegang teguh terhadap Islam dan memiliki jiwa khidmat yang tinggi, sementara landasan hatinya adalah untuk berkhidmat bagi bangsa ini, niscaya anda tidak akan dapati orang seperti dia. Saya sudah bertahun-tahun mengenalnya" (Cuplikan ceramah Imam Khomaini r.a. yang dimuat dalam kitabSahifah-e Nur jilid 17 hal 170)

FATAMORGANA

Photobucket Orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, “Kami ini adalah anak dan kekasih-kekasih Allah.” Katakanlah, “Jika demikian, mengapa Allah menyiksamu karena dosa-dosamu? (Kamu bukanlah anak dan kekasih-kekasih Allah), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).”( al Maidah 18)

Doktor Sayid Muhammad Husein Thabathaba’i

Photobucket Anak termuda yang hafal seluruh Al Quran, penerjemah Al Quran termuda dan pelajar Hauzah Ilmiah Qom yang paling belia. Anak pertama yang mampu menyampaikan semua keinginan dan percakapannya sehari-hari dengan menggunakan ayat-ayat suci Al Quran. Anak pertama yang berhasil menghafal seluruh Al Quran dengan metode isyarat. Anak pertama yang bisa dengan mudah menghubungkan satu ayat dengan lainnya dan menafsirkan ayat Al Quran dengan cara itu. Anak pertama yang dapat menjawab semua pertanyaan dengan menggunakan ayat-ayat suci Al Quran. Anak pertama dari negeri Iran yang berhasil memperoleh titel Doktor kehormatan dari salah satu universitas Inggris di usianya yang ketujuh.

pakoz PHOTOS

Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket