About Me

My photo
"Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengetahui mereka dengan tanda-tanda (yang ada pada) mereka. Dan kamu akan benar-benar mengenal mereka dari cara bicara mereka, dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian"- SURAH MUHAMMAD:30

Biodata Imam Hussien as

Nama : Hussein
Julukan : Saiyidu Syuhada
Gelaran : Abu Abdullah
Nama bapa : Sayidina Ali bin Abi Thalib
Nama ibu : Fathimah az-Zahra
Tempat lahir : 3 Sya’ban
Tempat dilahirkan : Madinah Munawwarah
Masa menjadi pemimpin : 11 tahun
Umur ketika syahid : 57 tahun.
Tarikh syahid : 10 Muharram
Nama pembunuh : Syimr
Bagaimana terbunuh : Diserang dan dipancung dengan kejam.
Tempat semadi : Karbala
Bilangan anak : 4 lelaki dan 3 perempuan.
Nama sebenar : Sayidina Hussein bin Sayidina Ali bin Abi Thalib.

PINTU ILMU RASULULLAH S.A.W.W

Photobucket

pakoz INFO

AL-KURAN,AL-HADIZ,NAHJUL BALAGHAH

"Apabila kamu perhatikan/renungkan Nahjul Balaghah, niscaya akan kau dapatkannya satu air yang mengalir, satu jiwa dan satu metode seperti halnya benda sederhana (simple) yang satu bagiannya tidak berlawanan secara esensial dengan bagian yang lain dan seperti Al-Qur'an yang mulia; awalnya seperti tengahnya, dan tengahnya seperti akhirannya. Setiap surah dari Al-Qur'an bahkan setiap ayat darinya serupa dengan ayat atau surah yang lain dalam sumber (ma'khadz), aliran, seni, metode dan keteraturan, dan jika sebagian dari Nahjul Balaghah adalah cacat sementara yang lain adalah sempurna dan sehat, niscaya karya ini tidak akan seperti itu (kesatuan)."[4]

[4] Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 4, hal 325.

Para Penghafal Nahjul Balaghah

- Hamid Chenani; penghafal Al-Qur'an dan Nahjul Balaghah; asal Ahvaz; lahir tahun 1976.
- Muhammad Fattah Pour; penghafal Al-Qur'an dan Nahjul Balaghah; asal Kasyan; lahir tahun 1990.
- Dr. Ali Reza Zadeh Jouibari; penghafal Al-Qur'an dan Nahjul Balaghah; asal Qom; lahir tahun 1992.
- Ayatullah Khaz Ali; penghafal Al-Qur'an dan Nahjul Balaghah; lahir tahun 1930.
- Hujjatul Islam Dirayati; penghafal Al-Qur'an dan Nahjul Balaghah; lahir tahun 1965.
- Mahdi Netzad; penghafal Al-Qur'an dan Nahjul Balaghah; lahir tahun 1980.
- Muhammad Zari' Arnani; penghafal Al-Qur'an dan bagian Hikmah Nahjul Balaghah; lahir tahun 1982.
- Muhammad Mahdi Mushibi; penghafal Al-Qur'an dan bagian Surat-surat Nahjul Balaghah.
- Abbas Ali Khorsand; penghafal bagian Hikmah Nahjul Balaghah.
- Ali Habibi; penghafal Al-Qur'an dan bagian Hikmah Nahjul Balaghah.
- Zahra' Karimi; penghafal bagian Hikmah Nahjul Balaghah.
- Zainab Kazhimi Khalidi; penghafal bagian Hikmah Nahjul Balaghah.



KEUTAMAAN AMIRUL MUKMININ


Ahmad bin Hanbal memberikan jawaban kepada orang yang merasa aneh dan terkejut bagaimana Ali as menjadi pembagi surga dan neraka seraya berkata, "Bukankah diriwayatkan pula dari Rasulullah saw yang bersabda kepada Ali as, 'Tak seorang pun yang mencintaimu kecuali orang yang beriman, dan tak seorang pun yang membencimu kecuali orang yang munafik?'" Mereka menjawab, "Iya." Lalu Ahmad melanjutkan penjelasannya, "Oleh karena tempat orang beriman adalah surga dan tempat orang munafik adalah neraka, maka Ali as adalah pembagi surga dan neraka."[35]

[35] Thabaqât al-Hanâbilah, jilid 1, hal. 320.

DARI JALUR HADIS MANAKAH KEISLAMAN KITA?

Khotbah 209
Seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin tentang hadis-hadis palsu yang diada-adakan orang, yang bertentangan dengan ucapan Nabi, yang terdapat di kalangan rakyat.[1]Atasnya Amirul Mukminin berkata:
Sesungguhnya apa yang berada di kalangan rakyat itu adalah benar (haqq) dan batil (bâthil) sekaligus, benar (shidg) dan dusta (kidzb), menasakh dan dinasakhkan, yang umum dan yang khusus, yang jelas dan samar. Bahkan di zaman Nabi, ucapan-ucapan dusta telah diatributkan kepada beliau sedemikian rupa sehingga Nabi mengatakan dalam khotbah beliau, "Barangsiapa berdusta tentang saya maka sedialah tempatnya di neraka." Orang-orang yang meriwayatkan hadis terbagi dalam empat jenis, tak lebih.[2]

Pertama: Kaum Munafik Pendusta
Orang munafik adalah orang yang memamerkan keimanan dan mengambil wajah seorang Muslim; ia tak ragu-ragu berbuat dosa dan tidak menjauh dari kemungkaran; ia dengan sengaja mengatributkan hal-hal yang dusta kepada Rasulullah SAWW. Apabila orang tahu bahwa ia seorang munafik dan pembohong, mereka tidak akan menerima apa pun dari dia dan tidak akan mengukuhkan apa yang dikatakannya.

Sebaliknya, mereka katakan bahwa ia sahabat Nabi, ia telah bertemu dengan beliau, mendengar (kata-kata beliau) dari beliau dan mendapatkan (pengetahuan) dari beliau. Oleh karena itu mereka mendengarkan apa yang dikatakannya. Allah juga telah mempetingatkan kepada Anda tentang orang-orang munafik dan menggambarkan mereka sepenuhnya bagi Anda. Mereka telah berlanjut setelah Rasulullah. Mereka beroleh kedudukan dengan para pemimpin sesat dan pendakwah ke neraka melalui kepalsuan dan fitaah. Maka mereka menempatkan mereka (para munafik) itu pada jabatan-jabatan tinggi dan menjadikan mereka para pejabat di atas kepala-kepala rakyat dan menumpuk harta melalui mereka. Orang-orang selalu bersama para penguasa dan mengejar dunia ini, kecuali orang-orang kepada siapa Allah memberikan perlindungan. Ini yang pertama dari keempat golongan itu.

Kedua: Orang yang Keliru
Kemudian ada orang yang mendengar (suatu ucapan) dari Rasulullah tetapi tidak menghafalnya sebagaimana adanya, melainkan menyimpulkannya. la tidak berdusta dengan sengaja. Lalu ia membawa ucapan itu dan meriwayatkannya, mengamalkannya dan mengaku bahwa, "Saya mendengarnya dari Rasulullah." Apabila kaum Muslim itu mengetahui bahwa ia telah melakukan suatu kekeliruan dalam hal itu, mereka tidak akan menerimanya dari dia, dan apabila ia sendiri mengetahui bahwa ia keliru maka ia akan melepaskannya.

Ketiga: Orang yang Tak Tahu
Orang yang ketiga adalah orang yang mendengar Rasulullah SAWW memerintahkan untuk melakukan sesuatu, dan kemudian Nabi melarang orang melakukannya, tetapi orang itu tidak mengetahuinya. Atau ia mendengar Nabi melarang orang terhadap sesuatu dan kemudian beliau mengizinkannya, tetapi orang itu tidak mengetahuinya. Dengan demikian ia memelihara dalam pikirannya apa yang telah dihapuskan dan tidak menahan hadis yang menggantikannya. Apabila ia tahu bahwa hal itu telah dihapus maka ia akan menolaknya, atau apabila kaum Muslim tahu, ketika mereka mendengarnya dari dia, bahwa hal itu telah dihapus, maka mereka akan menolaknya.

Keempat: Orang yang Menghafal dengan Benar
Yang terakhir, yakni orang yang keempat, adalah orang yang tidak berbicara dusta terhadap Allah maupun terhadap Rasul-Nya. la benci akan, kepalsuan karena takut kepada Allah dan menghormati Rasulullah, dan tidak membuat kekeliruan, tetapi menahan (di pikirannya) tepat apa yang didengaraya, dan ia meriwayatkannya sebagaimana ia mendengarnya, tanpa menambah sesuatu atau meninggalkan sesuatu. la mendengar hadis yang menasakh, ia menahannya dan beramal menurutnya, dan ia mendengar tentang hadis yang sudah dinasakh dan menolaknya. la juga mengerti (tentang hal-hal) yang khusus dan yang umum, dan ia tahu yang umum dan yang khusus, dan menempatkan segala sesuatu pada kedudukannya yang semestinya.

Ucapan-ucapan Rasulullah biasanya terdiri dari dua jenis. yang satu khusus dan yang lainnya umum. Kadang-kadang seorang lelaki mendengar beliau tetapi ia tak tahu apa yang dimaksud Allah Yang Mahasuci dengannya atau apa yang dimaksud Nabi dengan itu. Secara ini si pendengar membawanya dan menghafalnya tanpa mengetahui maknanya dan maksudnya yang sesungguhnya, atau apa sebabnya. Kalangan sahabat Rasulullah semua tidak biasa mengajukan pertanyaan dan menanyakan maknanya kepada beliau; sebenarnya mereka selalu menginginkan seorang Badui atau orang asing datang dan menanyakan kepada beliau SAWW supaya mereka pun dapat mendengarkan. Bilamana suatu hal semacam itu terjadi pada saya, saya bertanya kepada beliau tentang artinya dan memeliharanya. Itulah sebab dan dasar perbedaan di kalangan orang tentang hadis-hadis mereka. •


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Orang itu ialah Sulaim ibn Qais al-Hilali yang merupakan salah seorang periwayat hadis melalui Amirul Mukminin.

[2] Dalam Khotbah ini Amirul Mukminin membagi-bagi para periwayat hadis dalam empat kategori.

Kategori pertama, seseorang mengada-adakan sebuah hadis lalu mengatributkannya kepada Nabi. Hadis-hadis palsu ini dan diatributkan kepada beliau, dan proses ini berlanjut, dengan hasil munculnya banyak hadis baru. Ini suatu kenyataan yang tak tersangkal. Tetapi, bilamana seseorang menyangkalnya, basisnya bukan pengetahuan atau kearifan melainkan kebutuhan oratoris atau argumentatif. Maka, pada suatu ketika 'Allamul Huda Sayid al-Murtadha berkesempatan bertemu dengan seorang ulama Sunni dalam konfrontasi dan pada kesempatan itu Sayid al-Murtadha membuktikan dengan fakta-fakta sejarah bahwa hasis-hadis tentang keutamaan para sahabat besar telah diada-adakan dan palsu. Atasnya, ulama Sunni itu membantah bahwa mustahil bahwa ada seorang berani mengucapkan suatu dusta terhadap Nabi dan mengada-adakan hadis sendiri lalu mengatributkannya kepada beliau. Sayid Murtadha mengatakan bahwa ada hadis Nabi menyebutkan, "Banyak hal-hal batil akan diatributkan kepada saya setelah saya mati, dan barangsiapa berkata dusta tentang saya sedialah kediamannya di neraka. (al-Bukhârî, I, h. 38, II, h. 102, IV, h. 207, VIII, h. 54; Muslim, VIII, h. 229; Abû Dawûd, III, h. 319-320; Tirmidzî, IV, h. 524, V, h. 35-36, 40, 199, 634; Ibn Mâjah, I, h. 13-15)

Apabila Anda memandang hadis ini benar, maka Anda harus menyetujui bahwa hal-hal batil telah diatributkan kepada Nabi; tetapi bila Anda memandangnya batil (palsu) maka ini akan membenarkan pendapat kami." Namun, orang-orang itu berhati munafik dan yang biasa mengada-adakan "hadis" mereka sendiri untuk menciptakan bencana dan perpecahan dalam agama dan menyesatkan kaum Muslim yang berkeyakinan lemah. Mereka tetap bercampur dengan kaum Muslim sebagaimana mereka lakukan di masa hidup Nabi; dan sebagaimana mereka tetap sibuk dalam kegiatan-kegiatan membawa bencana dan kehancuran di hari-hari itu, demikian pula setelah Nabi pun mereka tak ragu-ragu untuk mengubah ajaran Islam dan mengubah wajahnya. Malah, di masa Nabi mereka selalu takut kalau-kalau beliau mengungkapkan tabir dan mempermalukan mereka, tetapi setelah wafatnya Nabi kegiatan munafik mereka meningkat dan mereka mengatributkan hal-hal batil kepada Nabi tanpa merisaukan akhir nasib mereka sendiri. Dan orang-orang yang mendengarkan mereka mempercayai mereka karena status mereka sebagai sahabat Nabi, dengan berpikir bahwa apa saja yang mereka katakan adalah tepat dan apa saja yang mereka berikan adalah benar. Kemudian, kepercayaan bahwa semua sahabat itu benar menjadi pembungkam lidah, yang menyebabkan mereka dianggap di luar kritik, pertanyaan, pembahasan dan sensor. Di samping itu, kineija mereka yang mencolok membuat meieka menonjol di mata pemerintah dan karena itu pula diperlukan keberanian untuk berbicara melawan mereka. Ini dibuktikan oleh kata-kata Amirul Mukminin,

"Orang-orang ini beroleh kedudukan pada para pemimpin kesesatan dan penyeru ke neraka, melalui kebatilan dan fitnah. Maka, mereka (penguasa) menempatkannya pada kedudukan tinggi dan menjadikannya pejabat di atas kepala rakyat."

Bersama dengan penghancuran Islam, kaum munafik juga bertujuan menumpuk harta. Mereka berbuat demikian secara bebas sambil mengaku Muslim, yang karenanya mereka tidak hendak melepaskan kedok Islam dan keluar secara terbuka, melainkan meneruskan kegiatan setani mereka dalam jubah Islam dan menyibukkan diri dalam penghancurannya secara mendasar dan menyebarkan perpecahan dengan mengada-adakan hadis palsu. Sehubungan dengan ini Ibn Abil Hadîd menulis,

"Bilamana mereka dibiarkan bebas, mereka pun meninggalkan banyak hal. Bilamana rakyat berlaku diam tentang mereka, mereka pun berlaku diam tentang Islam, tetapi mereka terus melanjutkan kegiatan gelap mereka seperti pemalsuan hadis yang disinggung Amirul Mukminin, karena banyak hal yang tak benar telah dicampuradukkan dengan hadis oleh sekelompok orang yang berkepercayaan batil yang bertujuan sesat dan memutarbalikkan pandangan dan kepercayaan, sementara sebagian dari mereka juga bertujuan menonjol- nonjolkan suatu pihak tertentu dengan siapa mereka mempunyai tujuan-tujuan duniawi lain pula."

Setelah lewatnya masa itu, ketika Mu'awiyah mengambil alih kepemimpinan agama dan menduduki tahta kekuasaan duniawi, ia membuka suatu bagian resmi untuk memproduksi hadis palsu, dan memerintahkan para pejabatnya untuk mengada-adakan hadis dan mempopulerkannya dalam menistakan Ahlulbait Nabi, dan dalam menonjol-nonjolkan 'Utsman dan Bani Umayyah, dan menjanjikan hadiah dan pemberian tanah untuk perbuatan itu. Akibatnya, banyak hadis tentang keutamaan yang dibuat-buat beroleh jalan masuk ke dalam kitab-kitab hadis. Maka, Abul Hasan al-Madâ'inî menulis dalam kitabnya Kitab al-Ahdats dan dikutip oleh Ibn Abil Hadîd, yakni,

"Mu'awiah menulis kepada para pejabatnya bahwa mereka harus memperhatikan secara khusus orang-orang yang terpaut kepada 'Utsman, para pembela dan pencintanya, untuk menghadiahkan kedudukan tinggi, keutamaan dan kehormatan kepada orang-orang yang mriwayatkan hadis-hadis tentang keutamaannya dan keislimeaannya, dan menyampaikan kepadanya apa saja yang diriwayatkan tentang seseorang, bersama namanya, nama ayahnya dan nama sukunya. Para pejabatnya berbuat sesuai dengan itu dan mengumpulkan hadis-hadis tentang keutamaan dan keistimewaan 'Utsman, karena Mu'awiah biasa memberi hadiah, pakaian dan tanah kepada mereka."

Bilamana hadis-hadis palsu tentang keutamaan 'Utsman itu telah tersiar di seluruh kerajaan, maka dengan gagasan bahwa kedudukan para khalifah yang sebelumnya tak boleh tetap rendah, Mu'awiyah menulis kepada para pejabatnya,

"Segera setelah Anda menerima perintah saya ini, Anda harus memanggil rakyat untuk mempersiapkan hadis-hadis tentang keutamaan para sahabat dan para khalifah lain pula, dan perhatikanlah bahwa apabila seorang Muslim meriwayatkan suatu hadis tentang 'Abfl Turab ('Ali), Anda harus menyediakan suatu hadis yang sama tentang para sahabat untuk melawannya, karena hal ini memberikan kepada saya kegembiraan besar dan kesejukan di mata saya, dan hal itu melemahkan kedudukan Abu Turab dan orang-orang yang beipihak kepadanya, dan lebih keras terhadap mereka daripada keutamaan dan keistimewaan 'Utsman."

Ketika surat-suratnya dibacakan kepada rakyat, sejumlah besar hadis semacam itu diiiwayatkan, yang memuji-muji para sahabat, yang dibuat-buat tanpa mengandung kebenaran. (Syarh Nahjul Balâghah, XI, h. 43-47)

Dalam hubungan ini Abu 'Abdullah Ibrahim ibn 'Arafah yang dikenal sebagai Nifthawaih (244-323 H./856-935 M.), ulama dan pakar hadis terkemuka, menulis, dan Ibn Abil Hadîd mengutipnya,

"Kebanyakan dari hadis palsu tentang keutamaan para sahabat dibikin di zaman Mu'awiah untuk beroleh kedudukan di hadapannya, karena menurut pandangannya dengan cara itu ia dapat menghina dan merendahkan Bani Hâsyim." (ibid)

Setelah itu pemalsuan hadis menjadi suatu kebiasaan; para pencari dunia menjadikannya sarana untuk mendapatkan kedudukan di sisi para raja dan bangsawan, dan untuk mengumpul kekayaan. Misalnya, Ghiyât ibn Ibrahim an-Nakha'î (abad kedua Hijrah) membuat suatu hadis tentang terbangnya merpati untuk menghibur Khalifah 'Abbasiah al-Mahdi ibn Manshflr dan beroleh kedudukan di sisinya. (Tarikh al-Baghdâdî, XH, h. 323-327; Mîzânu I'tidâl, m, h. 337-338; Lisân al-Mîzân, IV, h. 422). Abu Sa'id al-Madâ'inî dan lain-lain menjadikannya sarana untuk mencari rezeki. Puncaknya ercapai ketika al-Karramiyyah dan sebagian al-Mutashawwifah memberikan penetapan bahwa mengada-adakan hadis untuk mencegah dosa atau untuk meyakinkan ke arah ketaatan adalah halal. Akibatnya, sehubungan dengan amar makruf nahi mungkar, hadis-hadis diada-adakan dengan bebas, dan ini tidak dipandang bertentangan dengan hukum agama atau moral. Malah pekerjaan ini pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang berpenampilan pertapa atau takwa, yang melewati malamnya dalam salat dan doa dan mengisi siang harinya dengan daftar pembuatan hadis palsunya. Suatu gagasan tentang jumlah hadis palsu ini dapat diperoleh pada kenyataan bahwa dari 600.000 hadis, al-Bukhari memilih 2.761 hadis (Târîkh al-Baghdâdî, II, h. 8; Shifatush-Shafwah, IV, h. 143), Muslim merasa pantas memilih 4.000 dari 300.000 (Târîkh Al-Baghâdî, XIII, h. 101; al-Muntazham, V, h. 32; Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 151, 157; Wafayât al-A'yân, V, h. 194). Abu Dawud mengambil 4.800 dari 500.000 (Târîkh al-Baghdâdî, IX, h. 57; Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 154; al-Muntazham, V, h. 97; Wafayât al-A 'yân, II, h. 404; dan Ahmad ibn Hanbal mengambil 30.000 dari hampir 1.000.000 hadis (Târîkh al-Baghdâdî, IV, h. 419-420; Thabaqât al-Huffâzh, II, h. 17; Wafayât al-A'yân, I, h. 64; Tahdzîb at-Tahdzîb, I, h. 74). Akan tetapi, bila pilihan ini dikaji, beberapa hadis darinya sama sekali mustahil diatributkan kepada Nabi. Hasilnya ialah bahwa sekelompok besar telah muncul di kalangan kaum Muslim yang, mengingat kitab-kitab yang disebut koleksi hadis yang otoritatif dan benar ini, sepenuhnya menolak nilai pembuktian hadis. (Untuk rujukan selanjutnya, lihatlah al-Ghadîr, V, h. 208-378)

Kategori kedua, para perawi hadis adalah orang-orang yang, tanpa menilai waktu atau konteksnya, meriwayatkan apa saja yang mereka ingat, benar atau salah. Maka, dalam al-Bukhari (jilid II, h. 100-102; jilid V, h. 98), Muslim (jilid III, h. 41-45); Tirmidzi (jilid III, h. 327-329); an-Nasa'i (jilid IV, h. 18); Ibn Majah (jilid I, h. 508-509); Malik ibn Anas (al-Muwaththa', jilid I, h. 234; Syafi'i (Ikhtilâful Hadîs, pada garis pinggir tentang "al-Umm", jilid VII, h. 41, 42) dan al-Baihaqi (jilid IV, h. 72-74) dalam bab berjudul "Menangisi Orang Mati" dinyatakan bahwa ketika Khalifah 'Umar terluka, Shuhaib datang kepadanya sambil menangis, lalu 'Umar berkata,

"Ya Shuhaib, janganlah menangisi saya, sedang Nabi telah mengatakan bahwa orang mati dihukum apabila kaumnya menangisinya."

Setelah meninggalnya Khalifah 'Umar, ketika hal ini disebutkan kepada 'A'isyah, ia berkata, "Semoga Allah menaruh kasihan kepada 'Umar. Rasulullah tidak mengatakan bahwa menangisi kerabat menyebabkan hukuman kepada si mati; beliau mengatakan bahwa hukuman bagi seorang kafir bertambah apabila kaumnya menangisinya." Setelah itu 'A'isyah mengatakan bahwa menurut Al-Qur'an tak seorang pun akan memikul beban (dosa) orang lain, maka mengapa beban (dosa) orang yang menangisi akan ditimpakan kepada si mati. Setelah itu 'A'isyah mengutip ayat,

"... Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri...." (QS. 6:164; 17:15; 35:18; 39:7; 53:38)

Istri Nabi, 'A'isyah, meriwayatkan bahwa pada suatu hari Nabi melewati seorang wanita Yahudi yang sedang ditangisi kaumnya. Nabi lalu berkata, "Kaumnya sedang menangisinya tetapi ia sedang mengalami hukuman di kubur."

Kategori ketiga, periwayat hadis adalah orang-orang yang mendengar hadis yang telah dinasakh dari Nabi tetapi tidak mendapat kesempatan untuk mendengarkan hadis yang menasakhnya yang dapat dihubungkannya kepada hadis yang dinasakh. Suatu contoh hadis yang menasakh ialah ucapan Nabi yang mengandung rujukan kepada hadis yang telah dinasakh, yakni, "Saya (dahulunya) telah melarang Anda menziarahi kubur, tetapi sekarang Anda boleh menziarahinya." (Muslim, III, h. 65; Tirmidzî, II, h. 370; Abu Dawud, III, h, 218, 332; an-Nasa'i, IV, h. 89; Ibn Majah, I, h. 500-501; Mâlik ibn Anas, II, h. 485; Ahmad ibn Hanbal, I, h. 145, 452; II, h. 38, 63, 66, 237, 350; V, h. 350, 355, 356, 357, 359, 361; al-Hakim, al-Mustadrak, I, h. 374-376; dan al-Baihaqi, IV, h. 76-77). Di sini izin ziarah kubur telah menasakh larangan sebelumnya. Sekarang, orang yang hanya mendengarkan hadis yang telah dinasakh itu terus bertindak sesuai dengan itu.

Kategori keempat, periwayat hadis ialah orang-orang yang sepenuhnya mengetahui prinsip-prinsip keadilan, memiliki kecerdasan dan kearifan, mengetahui saat ketika suatu hadis mula-mula diucapkan Nabi, dan juga mengenali hadis-hadis yang menasakh dan yang dinasakh, yang khusus dan yang umum, dan yang bersifat sementara dan yang mutlak. Mereka menjauhi kebatilan dan pemalsuan. Segala yang mereka dengar tetap terpelihara dalam ingatan mereka, dan mereka menyampaikannya dengan tepat kepada orang lain. Hadis-hadis dari merekalah yang merupakan milik Islam yang amat berharga, bebas dari penipuan dan pemalsuan, dan patut diandalkan dan diamalkan. Koleksi hadis-hadis yang telah disampaikan melalui pribadi seperti Amirul Mukminin dalam pengetahuan Islam tetap terbebas dari pemotongan, pemangkasan, atau perubahan, secara tegas menyuguhkan Islam dalam bentuknya yang sebenarnya. Kedudukan Amirul Mukminin telah terbukti dengan amat pasti melalui hadis-hadis berikut dari Nabi, seperti: Amirul Mukminin, Jabir ibn 'Abdullah, Ibn 'Abbas dan 'Abdullah ibn 'Umar telah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau berkata,

"Saya adalah kota ilmu dan 'Ali adalah pintunya. Orang yang hendak mendapatkan ilmu (saya) harus datang melalui pintunya." (al-Mustadrak, III, h. 126-127; al-Istî'âb, III, h. 1102; Usd al-Ghâbah, IV, h. 22; Tarikh al-Baghdâdî, II, h. 377; Vn, h. 172; XI, h. 48-50; Tadzkirah al-HuffâTh, Majma' az-Zawâ'id, X, h. 114; Tahdzîb at-Tahdzîb, VI, h. 320; VII, h. 337; Lisân al-Mîzân, II, h. 122-123; Târîkh al-Khulafâ', h. 170; Kanz al-'Ummâl, VI, h. 152, 156, 401); 'Umdah al-Qârî, VII, h. 631; Syarh al-Mawâhib al-Ladunniyyah, III, h. 143)

Amirul Mukminin dan Ibn 'Abbas juga telah meriwayatkan dari Nabi (saw) bahwa:

"Saya adalah gudang kearifan dan 'Ali adalah pintunya. Orang yang hendak mendapatkan kearifan harus datang melalui pintunya." (Hilyah al-Auliyâ', I, h. 64; Mashâbih as-Sunah, II, h. 275; Târîkh al-Baghdâdî, XI, h. 204; Kanz al-'Ummâl, VI, h. 401; ar-Riyâdh an-Nadhirah, II, h. 193)

Alangkah baiknya apabila manusia dapat mengambil berkah Nabi melalui sumber-sumber pengetahuan ini. Tetapi adalah suatu bab tragis dalam sejarah bahwa walaupun hadis-hadis melalui kaum Khariji dan musuh-musuh keluarga Nabi diterima, namun bilamana rangkaian perawi meliputi nama seseorang dari kalangan keluarga Nabi, terdapat suatu keraguan untuk menerima hadis itu.

ULAMAK PEWARIS NABI?


Imam Ma'shum


Mengapa saudara-saudara keberatan bila seorang muslim yang salih, yang tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh orang yang tidak berdosa, yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya disebut terjaga dari dosa? Apakah saudara-saudara menganut paham dosa warisan atau 'original sin'?
Apalagi Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan (segala) kenistaan dari padamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Ahzab: 33).
Yang dimaksud Al-Qur'an adalah 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.
Ahlussunah pun percaya bahwa semua sahabat adil, dan semua tindakan mereka adalah ijtihad. Dan tindakan mereka mendapat pahala termasuk diantaranya sahabat yang melaksanakan pembunuhan berdarah dingin, pezinah, pemabuk, pembohong, pembakar orang hidup-hidup atau memerangi Imam zamannya dan perbuatan-perbuatan yang tidak terlukiskan dengan kata-kata.
Ada juga kisah Khalid bin walid yang memenggal kepala Malik bin Nuwairah 1 dan memperkosa istri Malik yang cantik malam itu juga. Ia menggunakan kepala Malik sebagai tungku.
Ini bukan tuduhan kaum Syi'ah, tetapi catatan sejarawan Sunni! Umar bin Khattab menyebut Khalid bin Walid sebagai pembunuh dan pezinah yang harus dirajam. Abu Bakar menyatakan bahwa Khalid hanya sekedar salah ijtihad, dan menamakannya 'saifullah' atau pedang Allah. "Aku tidak akan menyarungkan pedang yang telah dihunus Allah untuk memerangi musuh-musuhNya.", kata Abu Bakar.
Khalid pula yang membakar Bani Salim hidup-hidup di zaman Abu Bakar. Umar mengingatkan Abu Bakar, dengan membawa hadits Rasulullah SAWW bahwa tidak boleh menghukum dengan hukuman yang hanya Allah boleh melakukannya. Dan Abu Bakar mengatakan, seperti diatas "Aku tidak akan menyarungkan pedang yang telah dihunus Allah untuk memerangi musuh-musuhNya." Banyak pula ulah Khalid yang lain, yang oleh 'Abdurrahman bin 'Auf dikatakan sebagai perbuatan jahiliyah, yaitu tatkala ia membunuh Bani Jazimah secara berdarah dingin.
Baca buku-buku yang berada dalam lemari saudara-saudara. Sekali lagi, tuduhan ini disampaikan oleh Umar bin Khattab, Ibnu Umar dan Abu Darda'. Kedua sahabat terakhir ini, ikut dalam pasukan Khalid dan membuat penyaksian.
Peristiwa inilah yang melahirkan adagium di kemudian hari bawah semua sahabat itu adil dan tiap tindakan mereka merupakan ijtihad dan kalau benar mereka dapat dua pahala, kalau salah satu pahala.
Pantaslah kalau Mu'awiyah yang meracuni Hasan, cucu Rasulullah, atau 'Abdullah bin Zubair yang hendak membakar Ahlul Bait di gua 'Arim atau Yazid yang membantai cucu Rasulullah, Husain dan keluarganya di Karbala, mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan 'sunah' atau contoh para sahabat sebelumnya.
Umar memecat Khalid bin Walid --yang oleh sejarawan disebut sebagai shahibul khumur, pemabuk-- tatkala Umar menggantikan Abu Bakar dikemudian hari.
Apakah orang Syi'ah harus mengangkat mereka sebagai Imam? Sebab memiliki Imam, wajib hukumnya? Bukankah Rasulullah SAWW bersabda: "Barangsiapa tidak mengenal Imam zamannya, ia mati dalam keadaan jahiliyah."? Dan hadits yang mengatakan bahwa sepeninggal Rasulullah SAWW ada 12 Imam, yang semuanya dari keturunan Quraisy. Bacalah hadits-hadits shahih enam seperti Bukhari dan Muslim!
Mengkritik akidah mazhab lain tidak boleh berdasarkan prasangka dan sinisme. Hormatilah akidah mereka. Benarlah kata orang, "Jangan melempar rumah orang lain bila rumah Anda terbuat dari kaca."
Bacalah buku sejarah. Bukan 'asal ngomonng'. Bukan zamannya lagi berbohong dengan ayat-ayat dan hadits, sebab umat sekarang sudah banyak yang pandai.
1 Malik bin Nuwairah adalah sahabat pengumpul zakat yang ditunjuk Rasulullah SAWW, dan oleh Rasulullah SAWW dikatakan sebagai ahli surga.

TAMBAHAN PADA KALIMAH SYAHADAH?

Adzan Syi'ah Berbeda dengan Adzan Sunnah

Saudara-saudara tidak lengkap membicarakan lafal adzan dan iqamah. Saudara-saudara 'lupa' menyampaikan lafal adzan dan iqamah sesungguhnya. Yang pasti di zaman Rasulullah SAWW berbunyi sebagai berikut:
Lafal Adzan
Allaahu akbar(Kalimat diatas, sama dalam kedua mazhab, diucapkan 4x)
Asyhadu an-laa ilaaha illa'llaahAsyhadu anna Muhammadar' RasuulullaahHayya 'ala ShalaahHayya ala'l falaah(Semua kalimat diatas, sama dalam kedua mazhab, diucapkan 2x)
Hayya 'ala khairi'l amaal(Kalimat diatas hanya dalam mazhab Syi'ah, diucapkan 2x)
Allaahu akbar,Allaahu akbarLaa ilaaha illa'llaah(Kalimat diatas, sama dalam kedua mazhab, diucapkan masing-masing 2x)
Ash-shalaatu khairun min an-naum(Kalimat yang diucapkan dalam shalat shubuh diatas hanya dalam mazhab Sunnah, diucapkan 2x)
Dalam al-iqamah, semua kalimat diatas diucapkan sekali kecuali Allaahu akbar diucapkan dua kali.
Apakah saudara-saudara sudah mempelajari hadits-hadits dan sejarah adzan ini?
Memang Syi'ah, sesudah membaca "Hayya 'alaa'l falaah" (Marilah kita mencapai kemenangan) membaca "Hayya 'alaa khairil 'amaal" (Marilah membuat amal shalih).
Apakah kalimat Hayya 'alaa khairil 'amaal itu buatan Syi'ah?
Kalimat ini dilafalkan dimasa Rasulullah SAWW. Bacalah tulisan ulama Sunni seperti Baihaqi dalam Sunan jilid I, hal, 524, 525; Sirah Halabiyah jilid II, hal. 105; Maqaati'l Ath-Thalibin, hal 297; Adz-Dzahabi dalam Mizaan al-I'tidaal jilid I, hal. 139; Lisaan'l-Mizaan jilid I, hal. 268 dan banyak lagi yang lainnya. Juga terdapat dalam hadits-hadits orang Syi'ah.
Umar bin Khattab tuk lebih 'memacu semangat' jihad karena kalimat ini dianggap akan melemahkan semangat jihad tersebut. Umar berkata, "Ada tiga hal yang dijalankan di zaman Rasulullah SAWW dan aku melarangnya dan aku akan menghukum mereka yang melaksanakannya; kawin mut'ah, haji mut'ah, dan Hayya 'ala khairi'l amaal."
Kaum Syi'ah tatkala mengucapkan kalimat syahadat sering menambahkan "Asyhadu anna 'Aliyyan waliiyullaah" Hal ini disebabkan pidato Rasulullah SAWW di Ghadir Khum, sesudah Haji Perpisahan, sekitar 80 hari sebelum beliau wafat. Bukan hadits lemah dikalangan Sunni, yaitu tatkala Rasulullah SAWW bersabda:
"Man kuntu maulaahu fa 'Aliyyun maulaahu. Allaahumma waali man walaahu wa 'aadi man 'aadaahu"(Barang siapa menganggap aku sebagai walinya, maka 'Ali juga adalah walinya. Allaahumma, ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya).
Dan semua sahabat memberi selamat, termasuk Umar bin Khattab. Para sejarawan mencatat kata-kata yang diucapkan Umar:
"Bakhin, bakhin, laka, ya aba'l hasan, anta maulaaya, wa maulaa kullu mu'minin wa mu'minatin."(Selamat ayah Hasan, engkau adalah waliku dan wali kaum mu'minin dan mu'minat).
Dan ada pula dengan lafal "Thuuba laka" atau "hanii'an laka" yang punya arti serupa dan diriwayatkan oleh sekitar 110 sahabat.
Dan tatkala turun ayat:
"Innallaaha wa malaa'ikatahu yushalluuna 'ala'n-Nabii, yaa ayyuha'l ladziina aamanuu shalluu 'alaihi wa sallimu tasliiman", yang artinya "Sungguh, Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi, Hai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah atasnya, dan berilah salam kepadanya dengan sehormat-hormat salam!" (QS. Al-Ahzab: 56).
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAWW tentang cara bershalawat kepada Nabi, Rasulullah SAWW menjawab "Ucapkanlah 'Allahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'aali Muhammad', (Ya Allah, shalawatilah Muhammad dan keluarga Muhammad)"
Karena itulah maka para ulama seperti Imam Syafi'i mengatakan tatkala dituduh rafidhah (yang berarti melakukan desersi dari kedua syaikh, Abu Bakar dan Umar atau yang lebih mengutamakan 'Ali daripada kedua syaikh tersebut), menjawab, "Bila mencintai Ahlu'l Bait aku dituduh rafidhah, orang dulu punya peribahasa, tunjukkan kepadaku seorang rafidhah yang kecil, akan aku tunjuk kepadamu seorang Syi'ah yang besar!. Kalau aku dituduh demikian maka saksikanlah oleh seluruh jin dan manusia bahwa aku memang seorang rafidhi! Sebab shalatku tidak sah bila aku tidak bershalawat kepada Ahlul'l Bait!"
Tapi orang Syi'ah mengetahui betul bahwa kalimat Asyhadu anna 'Aliyyan waliiyullaah bukan merupakan bagian integral dari adzan dan iqamah. Kalimat ini hanya merupakan kebolehan, optional, seperti kalimat Allahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'aali Muhammad.
Kalimat Ash-shalaatu khairun min an-naum (Shalat lebih baik daripada tidur) adalah tambahan dari Umar bin Khattab. Sekali lagi, baca!

KAFIRKAH KAUM SYI`AH?

Laporan harian Republika tentang seminar itu dengan judul 'Para Ulama Sepakat, Sulit Pertemukan Faham Syi'ah dan Sunni', sangat rapi dan bagus. (Republika, 22 September 1997, hal. 2).
Saya memang sudah menduga, seminar ini akan berlangsung dua atau tiga hari sebelum tanggal 23 September 1997, hari ulang tahun Kerajaan Saudi Arabia. Tapi saya mengira tidak akan berlangsung pada ulang tahun ke-65 ini, sebab pemerintah Saudi pada tahun ini baru saja menyatakan perlunya kerukunan beragama.
Apakah saudara-saudara ingin mengkafirkan negara sahabat, Kerajaan Saudi, karena membolehkan sekitar 200.000 orang Syi'ah yang saudara-saudara kafirkan, memasuki Ka'bah setiap tahun untuk beribadah Haji?
Tahukah saudara-saudara bahwa pada tahun 1994 Kerajaan Saudi telah mendirikan Dewan Syura yang terdiri dari 60 orang dan enam diantaranya pemeluk Syi'ah sesuai dengan jumlah penduduk Syi'ah di negara itu?
Alasan lain yang mengherankan saya, seminar ini diadakan justru tatkala presiden Soeharto baru saja menganjurkan dibina kerukunan beragama, menghindari penjelekan atau penyerangan terhadap mazhab lain.
Kita hidup di negara beradab, bukan di zaman Mu'awiyyah!
Apalagi ini berlangsung pada saat kaum muslimin sedunia sedang menghadapi masalah-masalah pelik seperti kejadian di Bosnia, Chechnya, Azerbaijan, Libanon, Palestina, Afghanistan, Sudan, Irak, Aljazair dan Morro, yang memerlukan bantuan agar perdamaian dapat timbul disana.
Alangkah baiknya bila biaya seminar ini dikeluarkan untuk mebantu anak-anak cacat korban perang Bosnia, Chechnya, Afghanistan, dan kelaparan di Irak. Selama ini yang memperjuangkan mereka malah bintang film Elizabeth Taylor. Kita mestinya malu.
Kita juga sedang sedih menghadapi musibah moneter maupun bencana pengotoran udara, yang membuat kita merasa berdosa kepada negara tetangga.
Kita membutuhkan bantuan pikiran dan tenaga semua warga untuk keprihatinan ini. Bukankah Rasulullah SAWW bersabda: "Barang siapa yang tidak merasa prihatin dan tidak memikirkan masalah-masalah kaum muslimin maka dia bukanlah dari kaum muslimin"?

AKU TINGGALKAN AL-QURAN DAN SUNNAH?

Hadist Tsaqalain: Dua Warisan Terberat Dari Rasulullah SAWW.

Hadist Tsaqalayn adalah hadits yang mempunyai arti penting dalam sejarah Islam. Karena selain karena urgensinya, hadits ini juga merupakan hadits yang paling banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan. Dimana sebagian orang menganggap hadist ini tidak tawwatur bahkan dha'if, sementara di pihak lain banyak juga yang mencari tahu dan berusaha membuktikan keshahihan bahkan ke'tawwatur'an hadits ini.
Meluasnya perbedaan pandangan dari kedua pihak ini tidak saja disebabkan karena terjadinya 'kericuhan' poltitik pasca wafatnya rasulullah, melainkan juga karena adanya upaya-upaya dari beberapa pihak untuk menegakkan suatu ideologi yang mereka bentuk. Namun demikian terlepas dari segala kepentingan tersebut, hadits ini dapat dibuktikan keberadaannya.
Paling tidak terdapat dua macam redaksi dari hadits Tsaqalayn :
Hadits yang berbunyi kurang-lebih : "Inniy taraktu fiykum tsaqalayn, maa in tamassaktum bihima lan tadlillu ba'diy: Kitaballah wa sunnatiy".
Hadits yang berbunyi kurang-lebih : "Inniy taraktu fiykum tsaqalayn, maa in tamassaktum bihima lan tadlillu ba'diy: Kitaballah wa 'Itraty".
Dari kedua hadits tersebut yang lebih populer adalah jenis yang pertama. Karena hadits tersebut merupakan hadist yang menjadi landasan utama tegaknya mazhab Ahlussunah wal Jama'ah. Sedangkan hadist yang kedua merupakan hadist yang kurang populer, jarang disebut-sebut apalagi di depan publik.
Kurangnya popularitas tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan:
Bernarkah terdapat hadits tsaqalayn dengan redaksi yang seperti tersebut pada nombor 2 diatas?
Jikalau ada, apakah hadits tersebut shahih atau bahkan mutawwatir?
Jika memang terbukti ada atau bahkan mutawwatir, maka mengapa tidak populer, atau bahkan orang enggan mempublikasikannya?
Penelitian Tentang Hadist Tsaqalayn
Menurut beberapa riwayat yang berhasil dihimpun, paling tidak ada beberapa kali Rasulullah SAWW. menyebutkan hadits tersebut ditempat yang berlainan.
1. Pada Hari Arafah
At-Tirmidzy meriwayatkan dari Jabir Ibn Abdullah :


"Dari Jabir Ibn Abdullah berkata: Aku melilhat Rasulullah SAWW. pada hajinya di Hari Arafah dan Beliau duduk di atas unta Al-Qaswa' maka Beliau berkhutbah kemudian bersabda: 'Wahai pada manusia, Sesunggunhnya aku tinggalkan pada kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan sesat, yakni Kitab Allah dan keluargaku.'"
Imam At-Tirmidzy menyatakan bahwa hadist yang serupa juga di riwayatkan oleh Abu Dzarr, Abu Sa`id, Zayd ibn Arqam dan Hudzayfah ibn Usayd.
Diantara imam hadits yang juga meriwayatkannya adalah :

Al­Hafiz Ibn Abi Syaybah, sebagaimana dalam Kanz al­`ummal (Edisi I), Juz I, hal. 48;
Al­-`Uqayli dalam al­Du`afa' al-Kabir, Juz II, hal. 250;
Al­-Hakim al­Tirmidhi, Nawadir al-'Usul, 68, 50th;
Ath-­Tabarani, al­Mu`jam al-Kabir, Juz III, hal. 63, no. 2679;
al­Khatib, al­Muttafiq wa al­-muftariq, dari Kanz al­`ummal, Juz I, hal. 48 dan Majma' al­zawa'id, Juz V, hal. 195; Juz IX, hal. 163; Juz X, hal. 363, hal. 268;
Al-­Baghawi, al-Masabih, Juz II, hal. 206;
Ibn al­'Athir, Jami` al­'usul, Juz I, hal. 277, no. 65;
AR-Rafi`i, At-­Tadwin, Juz II, hal. 264 (dalam catatan biografi Ahmad ibn Mihran al­Qattan; pada cetakan versi India hadits ini dihapus, sedangkan pada manuskrip buku tersebut, hadits ini tertulis.);
Al-­Mizzi, Tahzib al­kamal, Juz X, hal. 51, dan Tuhfat al­-'Asyraf, Juz II, hal. 278, no. 2615;
Al­- Qadi al­Baydawi, Tuhfat al-­'Asyraf;
Al-­Khawarizmi, Maqtal al­Husayn (A), Juz I, hal. 144;
Al-­Khatib Al-­Tabrizi, Mishkat al­-Masabih, Ju

MENANGIZLAH WAHAI SYIAH A`LI...























































































































































































































































































































































































































MUSHAFF FATHEEMAH?


Al-Quran kaum Syi'i dan sunni sama dan itu-itu juga. Silahkan para anggota seminar memasuki masjid-masjid dan rumah-rumah kaum Syi'i di Saudi Arabia, Libanon, Iran, Irak, Bahrain atau pun Azerbaijan dan dimana saja orang Syi'ah itu berada. Saudara-saudara tidak akan menemukan Al-Quran yang lain.
Jangan berkata sesuatu by hearsay. Alangkah mudah saudara-saudara menyurati kantor-kantor kedutaan kita di negeri-negeri tersebut dan memohon mereka untuk membelikan untuk saudara sebuah Al-Quran. Lihatlah isinya, adakah perbedaan dengan Al-Quran di rumah saudara?
Orang-orang Syi'ah telah membantah tuduhan-tuduhan yang tidak berguna ini. Saudara Nurcholis Madjid, seingat saya, pernah membantah saudara-saudara dalam suatu seminar beberapa tahun lalu, seperti dimuat di beberapa koran ibukota. Beliau meunjukkan 'Al-Quran Syi'ah' dan mengatakan bahwa kalau pun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah karena 'Al-Quran Syi'ah' rata-rata lebih indah dari Al-Quran kita. Ini karena orang-orang Syi'ah berpendapat bahwa Kitabullah haruslah dicetak lebih indah dari semua buku lain.
Jangan membicarakan Syi'i yang fanatik, kaum ghulat, karena pengecualian tidak dapat mewakili golongan terbanyak. Annadir la yu'tabar. Saya anjurkan saudara-saudara para ulama untuk membaca buku-buku mengenai Tahrif Al-Quran yang banyak jumlahnya.
Orang Syi'ah menganggap bahwa siapa saja yang meyakini Al-Quran kita telah berubah, maka ia telah meragukan kekuasaan Allah SWT dan tidak akan mendapat perlindungan dari-Nya karena Allah SWT telah berfirman: "Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah yang menjaganya." (QS. Al-Hijr: 9)
Mengenai Imam Khumaini (Imam Khomeini), dikatakan bahwa mengakui adanya tahrif atau perubahan dalam Al-Quran dalam bukunya Hukumah Islamiyah, seorang teman telah menyediakan uang Rp. 100,000,000.00,- (seratus juta rupiah) bila saudara-saudara dapat menunjukkan adanya pernyataan tahrif Al-Quran dalam buku tersebut!
Saudara Profesor KH. Irfan Zidny MA sebenarnya tidak hendak mencoba mematikan harga diri lawan berdebat anda dengan menonjolkan serba gelar yang anda miliki atau umur anda yang tua, atau mengejek lawan bicara anda karena tidak bisa berbahasa Arab atau Inggris atau mengecilkan tokoh yangt dihormati lawan bicara anda.
Saya bukan tidak percaya bahwa anda adalah 'teman kuliah' Imam Khomeini atau anda lebih pandai dari gurunya Imam Khomeini, dan mungkin anda telah bergelar Ayatullah, tetapi setahu saya Sayyid Khomeini tidak belajar di Irak, tetapi mengajar. Mungkin saja Anda lebih 'besar' dari gurunya Imam Khomeini tetapi jangan anda yang mengatakannya. Biarlah orang lain yang menilai. Karena argumentasi seperti ini disebut argumentasi negatif.
Orang tidak perlu belajar di Irak belasan tahun untuk disebut ulama yang pandai dan mukhlis. Orang menilai mutu pembicaraan anda dan bukan riwayat hidup anda yang ingin membungkam lawan bicara anda.
Hanya Allah SWT yang tahu iman dan akal kita selengkapnya. Anda harus ingat bahwa tidak semua teman BJ. Habibie menjadi seperti BJ. Habibie. Mungkin anda jadi murid Imam Khu'i di Irak, dan mungkin juga Imam Khomeini jadi murid Imam Khu'i bersama anda. Tapi anda harus ingat tidak semua teman BJ. Habibie menjadi seperti BJ. Habibie. Semua orang yang saya tanyai mengenai anda, tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi saya menangis, seperti anda 'menangisi' Syi'ah.
Karena saya peminat sejarah, mohon Anda sebutkan seorang nara sumber di Irak yang dapat membenarkan pernyataan anda bahwa anda telah belasan tahun seperguruan dengan Imam Khomeini, berapa umur anda dan berapa umur Imam Khomeini pada masa itu, kapan dan dimana anda belajar bersamanya. Saya ingin menyuratinya. Dan untuk itu saya ucapkan terima kasih.
Saya sebenarnya berpikir bahwa anda seharusnya jadi Mufti seluruh umat karena 'ilmu' dan 'istiqomah' anda.
Apakah NU tidak mengenal anda?
Tapi biarpun demikian, saya yakin dengan melihat lamanya pendidikan dan keteguhan pendirian anda, anda tentu telah menghasilkan banyak karya bermutu atau menjadi 'da'i besar'. Dan anda akan menjadi tempat rujukan tanpa harus membaca (buku-buku karya) Ali Syariati, HAMKA, Abu Bakar Aceh, Maududi, Sayyid Quttub, Sayyid Sabiq, Rasyid Ridha, Hassan Al-Banna, Muthahhari, Khomeini, Thabthaba'i atau Ali Khameini.
Mengapa anda sudah merasa cukup berteman dengan Thohir AlKaff dari Al-Bayyinat Nyamplungan Surabaya? Saya berteman dengan banyak orang panda dan mukhlis di Nyamplungan. Mengapa harus 'diracuni' oleh orang jenis Thohir Alkaff ini?

SIKAP TERHADAP SAHABAT!


Mengenai sikap terhadap sahabat, kaum Syi'ah berpegang pada Al-Quran dan Sunnah serta catatan sejarah. Bahwa diantara para sahabat ada juga yang lalim, seperti si munafik 'Abdullah bin 'Ubay dengan kelompoknya yang berjumlah 300 orang yang melakukan desersi sebelum perang Uhud. Lihat buku-buku sejarah Islam, seperti "Riwayat Hidup Rasulullah SAW" karangan Abul Hasan Ali Al-Hasany an-Nadwy, terjemahan Bey Arifin dan Yunus Ali Muhdhar, hal. 213 atau Ibnu Hisyam, "Sirah Nabawiyah" jilid II, hal. 213.
Atau Mu'awiyah dan para jendralnya yang melakukan pembersihan etnis dengan membunuh kaum Syi'ah secara berdarah dingin, shabran, menyembelih bayi-bayi Syi'ah, memperbudak para muslimah dan membakar kebun dan membakar manusia hidup-hidup, mengarak kepala dari kota ke kota, minum arak, berzina dan sengaja merencanakan dan membuat hadits-hadits palsu yang bertentangan dengan hukum syar'i. Mengapa saudara tidak membaca sejarah dan hadits-hadits kita sendiri?
Bila saudara-saudara menganggap cerita-cerita yang membuka 'aib' para sahabat sebagai kufur, maka tidak akan ada lagi ahli sejarah dan ahli hadits yang tidak kafir.
Syi'ah menolak hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat lalim. Mereka heran mengapa kaum Sunnah keberatan bila mereka meriwayatkan hadits-hadits dari keluarga Rasulullah sebab ayat-ayat Al-Qur'an turun dirumah mereka. Dan Rasulullah tinggal serumah dan mengajari mereka?
Mengapa mereka harus mencari hadits-hadits Abu Hurairah misalnya, yang meriwayatkan bahwa Allah menciptakan Adam seperti wajah Allah dengan panjang 60 hasta (sittuna dzira), sedang Al-Qur'an mengatakan bahwa tiada sesuatu pun yang menyerupaiNya, laisa kamitslihi syai'un, atau Nabi Musa lari telanjang bulat karena bajunya dibawa lari oleh batu, atau sapi berbahasa Arab, atau hadits yang menyatakan kalu lalat masuk ke dalam kuah, maka seluruh lalat harus dimasukkan kedalamnya sehingga menimbulkan 'perang lalat' di koran-koran Mesir karena dokter-dokter muda menolak hadits yang 'berbahaya' tersebut? Dan Allah yang turun ke langit bumi, sepertiga malam, sehingga Allah tidak punya kesempatan untuk kembali karena kesiangan?
Mengapa merekaharus berpegang pada Abu Hurairah yang oleh sahabat-sahabat besar seperti ummul mu'minin Aisyah dan Umar bin Khattab dan ulama-ulama besar seperti Ibnu Qutaibah menganggapnya sebagai pembohong? Bukankah Ibnu Qutaibah disebut sejarawan sebagai nashibi atau pembenci Ahlul Bait dan bukan Syi'ah? Baca sejarah dan hadits-hadits shahih Bukhari Muslim!
Haruslah diakui bahwa pandangan Syi'ah ini berbeda dengan kaum Sunni yang menganggap semua sahabat itu adil, 'udul, dan bila mereka membunuh atau memerangi sesama muslim, mereka akan tetap mendapat pahala. Bila tindakan mereka salah, mereka akan mendapat satu pahala dan kalau benar mendapat dua pahala.
Malah ada ulama Sunni, seperti Ibnu Katsir, Ibnu Hazm dan Ibnu Taymiyyah menganggap 'Abudrrahman bin Muljam yang membacok Imam 'Ali bin Abi Thalib yang sedang shalat shubuh sebagai mujtahid. Demikian pula pembantai Husain dan keluarganya di Karbala. Pembunuh-pembunuh cucu Rasulullah ini dianggap mendapat pahala, satu bila salah dan dua bila benar!
Suatu hari, saya kedatangan tiga orang Afghanistan. Saya tanyakan, mengapa kaum muslimin di Afghanistan saling berperang? Mereka menjawab: mereka berperang karena berijtihad seperti ummul mu'minin 'Aisyah yang memerangi 'Ali dalam perang Jamal. Kalau benar dapat dua pahala dan kalau salah dapat satu. Dan saya dengar, koran-koran Jakarta pun telah memuat keyakinan mereka ini.
Kaum Thaliban di Afghanistan, yang punya pendapat seperti ini, yang mengurung dan tidak membolehkan wanita bekerja atau sekolah bukanlah Syi'ah, tetapi kaum Wahabi!
Sebaliknya kaum Syi'ah juga berpendapat bahwa banyak pula sahabat yang mulia, yang harus diteladani kaum muslimin.
Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa diantara para sahabat ada yang 'kufur' dan 'munafik'. (Termasuk ayat-ayat terakhir bacalah At-Taubah ayat 48, 97).
Banyak sekali hadits-hadits seperti hadits Al-Haudh, diantaranya tercatat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Mereka membenarkan ayat Al-Qur'an tersebut dan menceritakan adanya sekelompok sahabat digiring ke neraka dan tatkala ditanya Rasul, ada suara yang menjawab "Engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sesudahmu". Ahli-ahli sejarah kita dengan gamblang menggambarkan ulah beberapa sahabat tersebut.
Apakah pandangan Syi;ah tersebut 'kufur' atau 'sesat'? Apakah mereka harus dikafirkan karena keyakinan mereka itu? Kita boleh menyesali perbedaan itu, tetapi perbedaan ini menyangkut masalah cabang agama bukan pokok, bukan ushuluddin.

MELAKNAT SAHABAT ?


Mengenai mencela dan melaknat sahabat, saya belum pernah membaca fatwa ulama yang mengkafirkan mereka. Misalnya, selama 80 tahun dinasti 'Umayyah, kecuali di zaman khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Azis yang hanya dua setengah tahun. Muawiyyah dan para pejabatnya serta para ulamanya melaknat dan mencaci Ali bin Abu Thalib dan keluarga beserta pengikutnya diatas mimbar diseluruh dunia Islam termasuk di Makkah dan Madinah, kecuali di Sijistan. Di Sijistan, sebuah kota yang sekarang terletak antara Afghanistan dan Iran, hanya sekali melakukan pelaknatan diatas mimbar.
Ali dilaknat dan dicaci atas perintah sahabat dan ipar Rasulullah SAWW, Mu'awiyyah, serta khalifah-khalifa Bani Umayyah lainnya. Pada masa itu, misalnya, Ali tidak dianggap khalifah yang lurus. Abdullah bin Umar tidak mau membai'at Ali malahan membai'at Mu'awiyyah, Yazid bin Mu'awiyyah dan gubernur Hajjaj bin Yusuf yang terkenal sebagai penjahat yang mebunuh 120 ribu kaum muslimin dan muslimat secara berdarah dingin, shabran. Umar bin Abul Azis mengatakan bahwa Hajjaj pasti akan menjadi juara dunia bila para penjahat dikumpulkan dan 'diperlombakan'. Ibnu Umar juga mengeluarkan hadits-hadits yang menyingkirkan Ali sebagai salah satu khalifah yang lurus.
Kita tahu, Mu'awiyyah membunuh para sahabat seperti, Hujur bin 'Adi, Syarik bin Syaddad, Shaifi bin Fasil, Asy-Syabani, Qabisyah bin Dhabi'ah Al-Abbasi, Mahraz bin Syahhab Al-Munqari, Kadam bin Hayyan Al-Anzi dan Abdurrahman bin Hassan Al-Anzi hanya karena tidak mau melaknat Ali. Abdurrahman Al-Anzi dikirim kepada Ziyad bin Abih dan dikuburkan hidup-hidup di Nathif dekat kuffah, ditepi sungai Efrat.
Beranikah saudara-saudara peserta seminar menganggap Mu'awiyyah dan seluruh pejabat, sahabat Rasulullah SAWW yang mendukungnya, serta para ulama telah kafir karena bukan saja memerintahkan kaum muslimin, termasuk para sahabat agar melaknat Ali, tetapi juga membunuh mereka yang menolak untuk melaknat?
Pada masa itu tidak ada yang berani menamakan anaknya Ali. Sampai-sampai pernah seorang ayah melaporkan kepada penguasa karena merasa terhina oleh istrinya karena memanggilnya Ali!

IMAM SYAFIE ?



Keterangan Para Imam Ahlul-Bayt tentang Sahnya Keislaman Ahlussunnah

Dalam bab ini, akan dinukilkan sekelumit nash-nash Imam kami (kaum Syi'ah) tentang sahnya keislaman Ahlus-Sunnah, dan bahwa kedudukan mereka sama seperti kaum Syi'ah, dalam segala konsekuensi yang timbul akibat keislamannya itu.
Memang, pandangan mazhab kami mengenai hal ini sungguh amat jelas. Tak seorang pun dari kami yang berpandangan adil dan moderat, meragukannya. Karena itu, kami tak merasa perlu menukilkan nash-nash itu semuanya dalam bab ini. Menurut hemat kami, tidaklah bijaksana menjelaskan sesuatu yang sudah amat jelas. Kami cukupkan sekadarnya saja, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh judul di atas.
Al-Imam Abu Abdillah, Ja'far Ash-Shadiq a.s., berkata, sebagaimana dirawikan oleh Sufyan bin As-Samath: "Agama Islam itu ialah seperti yang tampak pada diri manusia (yakni kaum Muslim secara umum), yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji dan berpuasa di bulan Ramadhan."
Berkata pula beliau sebagaimana dirawikan oleh Sama'ah: "Agama Islam itu adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah SAWW. Atas dasar itulah nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itulah berlangsung pernikahan dan pewarisan dan atas dasar itu pula terbina kesatuan jamaah (kaum Muslim)."
Al-Imam Abu Ja'far, Muhammad Al-Baqir a.s., berkata, seperti tercantum dalam Shahih Hamran bin A'yan: "Agama Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan. Yakni yang dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah (aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu berlangsung pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan hubungan pernikahan. Demikian pula pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan semua itu mereka keluar dari kekufuran dan dimasukkan ke dalam keimanan."
Masih banyak lagi riwayat dari para imam itu yang mengandung makna-makna seperti tersebut di atas, yang tak mungkin dinukilkan semuanya. Namun kiranya cukup sekian untuk memenuhi tujuan kami dalam bab
ini.▪

BANK HADIS 2




"Tidak pernah beriman kepadaku orang yang tidur kenyang sedangkan tetangganya kelaparan, dan jika penduduk sebuah desa tidur nyenyak sedangkan ada salah seorang dari mereka yang kelaparan, maka Allah tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat".- Rasulullah



HADIS AL-HAUDH

Bersabda Rasulullah SAWW:"Ketika aku sedang berdiri tiba-tiba datang sekelompok orang yang kukenal. Lalu keluarlah seorang di antara kami dan berkata, "Mari" . Kutanya, "Kemana?" Jawabnya, "Ke neraka, demi Allah". "Apa kesalahan mereka?" Tanyaku. "Mereka telah murtad setelahmu dan berbdik dari kebenaran, dan kuperhatikan tiada yang tersisa melainkan (sedikit sekali yang) seperti sekelompok unta yang tersisih", jawabnya

Rasulullah SAWW bersabda:"Aku akan mendahului kalian di telaga haudh. Siapa yang berlalu dariku dia akan minum dan siapa yang telah minum tidak akan dahaga selama-lamanya. Kelak ada sekelompok orang yang kukenal dan mereka juga mengenalku datang kepadaku; kemudian mereka dipisahkan dariku. Aku akan berkata: sahabatku, sahabatku. Lalu dijawab: engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu. Dan aku pun berkata: Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku" .

Orang yang merenungkan makna hadis-hadis seperti ini yang diriwayatkan sendiri oleh ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah dalam berbagai kitab shahih mereka, tidak akan ragu-ragu lagi untuk mengambil kesimpulan bahwa kebanyakan sahabat telah berubah bahkan telah berbalik setelah wafatnya Nabi SAWW; melainkan segelintir kecil saja yang diibaratkan oleh Nabi seperti sekelompok unta yang tersisih. Hadis ini tidak dapat ditafsirkan bahwa ia ditujukan untuk golongan orang-orang munafik, mengingat nas yang berkata: sahabatku, sahabatku. Dan ia juga adalah tafsir atau realisasi dari ayat-ayat AlQuran yang menyebutkan tentang sikap mereka yang berbalik sehingga diancam oleh Allah dengan api neraka, seperti yang telah disentuh di atas.

BANK HADIS 1


مَا مِنْ شَيْئٍ إِلاَّ وَ لَهُ كَيْلٌ أَوْ وَزْنٌ إِلاَّ الدُّمُوْعَ، فَإِنَّ الْقَطْرَةَ مِنْهَا تُطْفِئُ بِحَارًا مِنْ نَارٍ
1)Imam Ja’far ash-Shâdiq as berkata, “Segala sesuatu (di dunia ini) pasti memiliki timbangan dan takaran kecuali air mata, karena satu tetes darinya dapat memadamkan lautan api”.(Bihârul Anwâr, jilid 93, hal. 331, Hadis No.14)



Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti pernah menangis. Bahkan, pertanda bahwa seorang bayi yang baru lahir itu hidup adalah tangisannya setelah ia keluar dari perut ibunya. Oleh karena itu, orang-orang yang menangani kelahiran seorang bayi ketika tidak mendengarkan tangisannya, mereka akan merasa khawatir akan hidupnya.
Orang-orang yang menangis itu pun memiliki faktor yang beraneka ragam. Kadang-kadang faktor pendorongnya untuk menangis adalah kehilangan harta, putranya meninggal dunia, penyesalan atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya, dan sekeranjang faktor lain yang mungkin dimiliki oleh seseorang.
Jika kita merujuk kepada hadis-hadis ma’shûmîn as, kita akan dapatkan bahwa menangis memiliki efek-efek positif yang dapat bermanfaat bagi diri manusia. Di antaranya, menangis dapat melunakkan hati. Dalam hadis di atas, Imam Shâdiq as menegaskan bahwa setetes air mata dapat memadamkan lautan api. Tentunya, tidak semua tangisan dapat memiliki efek seperti itu. Tangisan yang dapat memadamkan lautan api itu adalah tangisan yang muncul dari rasa penyesalan terhadap dosa yang pernah dilakukan oleh seseorang. Tangisan seperti inilah yang dapat memadamkan lautan api neraka yang dikobarkan oleh dosa-dosa seorang hamba. Atau tangisan yang didasari oleh rasa takut kepada Allah.
Dalam banyak hadis disebutkan bahwa menangis karena takut kepada Allah dapat mencahayakan hati dan mencegah seseorang untuk melakukan dosa kembali. (Ghurarul Hikam, Hikmah No.2051). Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa seseorang yang menangis meskipun air matanya hanya satu tetes sebesar kepala lalat dan ia menangis karena takut kepada Allah, Ia akan mengamankannya dari kedahsyatan hari Kiamat. (Bihârul Anwâr, jilid 93, hal.334, Hadis No.25)
Semoga Allah selalu menjadikan mata kita meneteskan air mata karena takut kepadanya. Amin
!
Hak ibu atas anak
(IMAM ALI ZAINAL ABIDIN)
"Hak ibumu adalah hendaknya engkau tahu bahwa ia telah:
- mengandungmu,
- memberimu makan dari buah hatinya ketika tidak seorang pun siap untuk melakukan hal itu, dan
- menjagamu dengan telinga, mata, tangan, kaki, rambut, kulit dan seluruh anggota badannya.
Ia melakukan itu semua dengan penuh bahagia, gembira, dan rela menanggung segala derita dan susah-payah yang ada di dalamnya sehingga engkau lahir di dunia. Ia rela engkau kenyang meskipun ia sendiri kelaparan, engkau berpakaian meskipun ia sendiri telanjang, engkau tidak kehausan meskipun ia sendiri menahan dahaga, dan engkau bernaung meskipun ia sendiri kepanasan. Ia rela menyediakan kehidupan berlimpah nikmat bagimu dengan segala kesusahan yang dideritanya dan menidurkanmu meskipun ia harus berjaga sepanjang malam. Perutnya adalah tempat wujudmu, buiannya adalah tempatmu bermanja-manja, susunya adalah penebus dahagamu, dan jiwanya adalah tempat kamu berlindung. Ia rela menahan panas dan dinginnya dunia demi kamu dan untukmu. Dengan demikian, bersyukurlah kepadanya atas semua itu, dan engkau tidak akan dapat melakukan itu kecuali dengan pertolongan dan taufik dari Allah".

KHOTBAH 4



Pandangan Jauh Amirul Mukminin dan Keimanannya yang Kukuh

بِنَا اِهْتَدَيْتُمْ فِي اَلظَّلْمَاءِ وَ تَسَنَّمْتُمْ ذُرْوَةَ اَلْعَلْيَاءِ وَ بِنَا أَفْجَرْتُمْ عَنِ السِّرَارِ وُقِرَ سَمْعٌ لَمْ يَفْقَهِ اَلْوَاعِيَةَ وَ كَيْفَ يُرَاعِي اَلنَّبْأَةَ مَنْ أَصَمَّتْهُ اَلصَّيْحَةُ رُبِطَ جَنَانٌ لَمْ يُفَارِقْهُ اَلْخَفَقَانُ مَا زِلْتُ أَنْتَظِرُ بِكُمْ عَوَاقِبَ اَلْغَدْرِ وَ أَتَوَسَّمُكُمْ بِحِلْيَةِ اَلْمُغْتَرِّينَ حَتَّى سَتَرَنِي عَنْكُمْ جِلْبَابُ اَلدِّينِ وَ بَصَّرَنِيكُمْ صِدْقُ اَلنِّيَّةِ أَقَمْتُ لَكُمْ عَلَى سَنَنِ اَلْحَقِّ فِي جَوَادِّ اَلْمَضَلَّةِ حَيْثُ تَلْتَقُونَ وَ لاَ دَلِيلَ وَ تَحْتَفِرُونَ وَ لاَ تُمِيهُونَ اَلْيَوْمَ أُنْطِقُ لَكُمُ اَلْعَجْمَاءَ ذَاتَ اَلْبَيَانِ عَزَبَ رَأْيُ اِمْرِئٍ تَخَلَّفَ عَنِّي مَا شَكَكْتُ فِي اَلْحَقِّ مُذْ أُرِيتُهُ لَمْ يُوجِسْ مُوسَى ع خِيفَةً عَلَى نَفْسِهِ بَلْ أَشْفَقَ مِنْ غَلَبَةِ اَلْجُهَّالِ وَ دُوَلِ اَلضَّلاَلِ اَلْيَوْمَ تَوَاقَفْنَا عَلَى سَبِيلِ اَلْحَقِّ وَ اَلْبَاطِلِ مَنْ وَثِقَ بِمَاءٍ لَمْ يَظْمَأْ

Melalui kami Anda beroleh petunjuk dan mendapatkan kedudukan tinggi, dan melalui kami Anda keluar dari malam gelap. Telinga yang tidak hendak mendengar teriakan mungkin menjadi tuli. Bagaimana mungkin seseorang tetap tuli terhadap teriakan nyaring (Al Quran dan Nabi) akan mendengar suara (saya) yang lemah. Hati yang selalu berdebar (dengan takwa kepada Allah) akan mendapat kedamaian.
Saya selalu mengkhawatirkan dari Anda akibat-akibat pendurhakaan, dan saya telah melihat Anda dibalik busana tipuan. Tirai agama telah membiarkan saya tersembunyi dari Anda, tetapi keikhlasan niat saya meng-ungkapkan Anda kepada saya. Saya berdiri untuk Anda pada jalan kebenaran di antara jalur-jalur di mana Anda saling bertemu tetapi tak ada pemimpin, dan Anda menggali tetapi tidak mendapatkan air.
Hari ini saya akan membuat hal-hal yang bisu ini berkata-kata kepada Anda (yakni gagasan-gagasan dan renungan-renungan saya yang mendalam) yang penuh dengan kekuatan yang menguraikan. Pandangan orang yang meninggalkan saya mungkin tersesat. Saya tak pernah meragukan kebenaran itu sejak (kebenaran) itu ditunjukkan kepada saya. Musa tidak merasa takut bagi dirinya sendiri,
[1] melainkan dia prihatin atas kemenangan orang bodoh dan berkuasanya kesesatan. Sekarang kita berdiri di simpang jaian kebenaran dan kebatilan. Orang yang yakin akan mendapatkan air, tidak merasakan haus. •

[1] Rujukannya kepada Musa, ketika para penyihir dikirimkan untuk menantangnya dan mereka memperlihatkan sihir mereka dengan melemparkan tali dan tongkat ke tanah dan Musa merasa takut. Demikianlah, Al-Qur'an mencatat,
"... terbayang kepada Musa seakun-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. Maka Musd merasa takut dalam hatinya. Kami berkata: 'Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul." (QS. 20:66-68)
Dan Amirul Mukminin berkata bahwa alasan takutnya Musa ketika melihat tali dan tongkat bergerak itu bukanlah demi nyawanya sendiri; ia lakut jangan sampai kaumnya terkesan oleh sihir itu lalu tersesat dan kebatilan beroleh kemenangan karena perbuatan sihir itu. Itulah sebabnya maka Musa tidak dihibur dengan mengatakan bahwa nyawanya aman, tetapi dcngan mcngatakan bahwa ia sebenarnya lebih unggul, dan dakwahnya akan terangkat. Karena ketakutannya adalah atas kekalahan yang hak dan kemenangan yang batil, bukan nyawanya scndiri, hiburan diberikan kepadanya untuk kemenangan yang hak, dan bukan untuk perlindungan tcrhadap nyawanya.
Amirul Mukminin memaksudkan bahwa la pun mempunyai ketakulan yang sama, yakni jangan sampai umat terperangkap dalam jebakan orang-orang ini (Thalhah, Zubair, dan sebagainya) dan tersesat dari jalan yang benar. la tak pernah menghawatirkan kehidupannya sendiri
.

KHOTBAH 3


Dikenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah[i]

فَسَدَلْتُ دُونَهَا ثَوْباً وَ طَوَيْتُ عَنْهَا كَشْحاً وَ طَفِقْتُ أَرْتَئِي بَيْنَ أَنْ أَصُولَ بِيَدٍ جَذَّاءَ أَوْ أَصْبِرَ عَلَى طَخْيَةٍ عَمْيَاءَ يَهْرَمُ فِيهَا اَلْكَبِيرُ وَ يَشِيبُ فِيهَا اَلصَّغِيرُ وَ يَكْدَحُ فِيهَا مُؤْمِنٌ حَتَّى يَلْقَى رَبَّهُ ترجيح الصبر فَرَأَيْتُ أَنَّ اَلصَّبْرَ عَلَى هَاتَا أَحْجَى فَصَبَرْتُ وَ فِي اَلْعَيْأَمَا وَ اَللَّهِ لَقَدْ تَقَمَّصَهَا فُلاَنٌ وَ إِنَّهُ لَيَعْلَمُ أَنَّ مَحَلِّي مِنْهَا مَحَلُّ اَلْقُطْبِ مِنَ اَلرَّحَى يَنْحَدِرُ عَنِّي اَلسَّيْلُ وَ لاَ يَرْقَى إِلَيَّ اَلطَّيْرُ نِ قَذًى وَ فِي اَلْحَلْقِ شَجًا أَرَى تُرَاثِي نَهْباً حَتَّى مَضَى اَلْأَوَّلُ لِسَبِيلِهِ فَأَدْلَى بِهَا إِلَى فُلاَنٍ بَعْدَهُ ثُمَّ تَمَثَّلَ بِقَوْلِ اَلْأَعْشَى شَتَّانَ مَا يَوْمِي عَلَى كُورِهَا وَ يَوْمُ حَيَّانَ أَخِي جَابِرِ فَيَا عَجَباً بَيْنَا هُوَ يَسْتَقِيلُهَا فِي حَيَاتِهِ إِذْ عَقَدَهَا لِآخَرَ بَعْدَ وَفَاتِهِ لَشَدَّ مَا تَشَطَّرَا ضَرْعَيْهَا فَصَيَّرَهَا فِي حَوْزَةٍ خَشْنَاءَ يَغْلُظُ كَلْمُهَا وَ يَخْشُنُ مَسُّهَا وَ يَكْثُرُ اَلْعِثَارُ فِيهَا وَ اَلاِعْتِذَارُ مِنْهَا فَصَاحِبُهَا كَرَاكِبِ اَلصَّعْبَةِ إِنْ أَشْنَقَ لَهَا خَرَمَ وَ إِنْ أَسْلَسَ لَهَا تَقَحَّمَ فَمُنِيَ اَلنَّاسُ لَعَمْرُ اَللَّهِ بِخَبْطٍ وَ شِمَاسٍ وَ تَلَوُّنٍ وَ اِعْتِرَاضٍ فَصَبَرْتُ عَلَى طُولِ اَلْمُدَّةِ وَ شِدَّةِ اَلْمِحْنَةِ حَتَّى إِذَا مَضَى لِسَبِيلِهِ جَعَلَهَا فِي جَمَاعَةٍ زَعَمَ أَنِّي أَحَدُهُمْ فَيَا لَلَّهِ وَ لِلشُّورَى مَتَى اِعْتَرَضَ اَلرَّيْبُ فِيَّ مَعَ اَلْأَوَّلِ مِنْهُمْ حَتَّى صِرْتُ أُقْرَنُ إِلَى هَذِهِ اَلنَّظَائِرِ لَكِنِّي أَسْفَفْتُ إِذْ أَسَفُّوا وَ طِرْتُ إِذْ طَارُوا فَصَغَا رَجُلٌ مِنْهُمْ لِضِغْنِهِ وَ مَالَ اَلْآخَرُ لِصِهْرِهِ مَعَ هَنٍ وَ هَنٍ إِلَى أَنْ قَامَ ثَالِثُ اَلْقَوْمِ نَافِجاً حِضْنَيْهِ بَيْنَ نَثِيلِهِ وَ مُعْتَلَفِهِ وَ قَامَ مَعَهُ بَنُو أَبِيهِ يَخْضَمُونَ مَالَ اَللَّهِ خِضْمَةَ اَلْإِبِلِ نِبْتَةَ اَلرَّبِيعِ إِلَى أَنِ اِنْتَكَثَ عَلَيْهِ فَتْلُهُ وَ أَجْهَزَ عَلَيْهِ عَمَلُهُ وَ كَبَتْ بِهِ بِطْنَتُهُ مبايعة علي فَمَا رَاعَنِي إِلاَّ وَ اَلنَّاسُ كَعُرْفِ اَلضَّبُعِ إِلَيَّ يَنْثَالُونَ عَلَيَّ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ حَتَّى لَقَدْ وُطِئَ اَلْحَسَنَانِ وَ شُقَّ عِطْفَايَ مُجْتَمِعِينَ حَوْلِي كَرَبِيضَةِ اَلْغَنَمِ فَلَمَّا نَهَضْتُ بِالْأَمْرِ نَكَثَتْ طَائِفَةٌ وَ مَرَقَتْ أُخْرَى وَ قَسَطَ آخَرُونَ كَأَنَّهُمْ لَمْ يَسْمَعُوا اَللَّهَ سُبْحَانَهُ يَقُولُ تِلْكَ اَلدَّارُ اَلْآخِرَةُ نَجْعَلُها لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي اَلْأَرْضِ وَ لا فَساداً وَ اَلْعاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ بَلَى وَ اَللَّهِ لَقَدْ سَمِعُوهَا وَ وَعَوْهَا وَ لَكِنَّهُمْ حَلِيَتِ اَلدُّنْيَا فِي أَعْيُنِهِمْ وَ رَاقَهُمْ زِبْرِجُهَا أَمَا وَ اَلَّذِي فَلَقَ اَلْحَبَّةَ وَ بَرَأَ اَلنَّسَمَةَ لَوْ لاَ حُضُورُ اَلْحَاضِرِ وَ قِيَامُ اَلْحُجَّةِ بِوُجُودِ اَلنَّاصِرِ وَ مَا أَخَذَ اَللَّهُ عَلَى اَلْعُلَمَاءِ أَلاَّ يُقَارُّوا عَلَى كِظَّةِ ظَالِمٍ وَ لاَ سَغَبِ مَظْلُومٍ لَأَلْقَيْتُ حَبْلَهَا عَلَى غَارِبِهَا وَ لَسَقَيْتُ آخِرَهَا بِكَأْسِ أَوَّلِهَا وَ لَأَلْفَيْتُمْ دُنْيَاكُمْ هَذِهِ أَزْهَدَ عِنْدِي مِنْ عَفْطَةِ عَنْزٍ قَالُوا وَ قَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ اَلسَّوَادِ عِنْدَ بُلُوغِهِ إِلَى هَذَا اَلْمَوْضِعِ مِنْ خُطْبَتِهِ فَنَاوَلَهُ كِتَاباً قِيلَ إِنَّ فِيهِ مَسَائِلَ كَانَ يُرِيدُ اَلْإِجَابَةَ عَنْهَا فَأَقْبَلَ يَنْظُرُ فِيهِ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَالَ لَهُ اِبْنُ عَبَّاسٍ يَا أَمِيرَ اَلْمُؤْمِنِينَ لَوِ اِطَّرَدَتْ خُطْبَتُكَ مِنْ حَيْثُ أَفْضَيْتَ فَقَالَ هَيْهَاتَ يَا اِبْنَ عَبَّاسٍ تِلْكَ شِقْشِقَةٌ هَدَرَتْ ثُمَّ قَرَّتْ قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ فَوَاللَّهِ مَا أَسَفْتُ عَلَى كَلاَمٍ قَطُّ كَأَسَفِي عَلَى هَذَا اَلْكَلاَمِ







Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar)[ii] membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia pasti tahu bahwa kedudukan saya sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dari saya dan burung tak dapat terbang sampai kepada saya. Saya memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya.
Kemudian saya mulai berpikir, apakah saya harus menyerang ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, di mana orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat matinya). Saya dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka saya mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan. Saya melihat perampokan warisan saya sampai orang yang pertama menemui ajalnya, tetapi mengalihkan kekhalifahan kepada Ibnu Khaththab sesudah dirinya.
Kemudian ia mengutip syair al-'A'sya':
Hari-hariku kini berlalu di punggung unta (dalam kesulitan)
Sementara ada hari-hari (kemudahan)
Ketika aku menikmati pertemanan Hayyan, saudara Jabir.
[iii]
Aneh bahwa selagi hidup ia ingin melepaskan diri dari kekhalifahan, tetapi ia mengukuhkannya untuk yang lainnya setelah matinya. Tiada ragu bahwa kedua orang ini sama bersaham pada puting-puting susunya semata-mata di antara mereka saja. Yang satu ini menempatkan kekhalifahan dalam suatu lingkungan sempit yang alot di mana ucapannya sombong dan sentuhannya kasar. Kesalahannya banyak, dan banyak pula dalihnya kemudian. Orang yang berhubungan dengannya adalah seperti penunggang unta binal. Apabila ia menahan kekangnya, hidungnya akan robek, tetapi apabila ia melonggarkannya maka ia akan terlempar. Akibatnya, demi Allah, manusia terjerumus ke dalam kesemberonoan, kejahatan, kegoyahan dan penyelewengan. Namun demikian saya tetap sabar walaupun panjang-nya masa dan tegarnya cobaan, sampai, ketika ia pergi pada jalan (kematian)nya, ia menempatkan urusan (kekhalifahan) pada suatu kelompok
[iv] dan menganggap saya salah satu dari mereka. Tetapi, ya Allah, apa hubungan saya dengan "musyawarah" ini? Di manakah ada suatu keraguan tentang saya sehubungan dengan yang pertama dari mereka sehingga saya sekarang dipandang sama dengan orang-orang ini? Tetapi saya tetap merendah ketika mereka merendah dan terbang tinggi ketika mereka terbang tinggi. Seorang dari mereka menentang saya karena kebenciannya, dan yang lainnya cenderung ke jalan lain karena hubungan perkawinan dan karena ini dan itu, sehingga orang ketiga dari orang-orang ini berdiri dengan dada membusung antara kotoran dan makanannya. Bersamanya sepupunya pun bangkit sam-bil menelan harta Allah[v] seperti seekor unta menelan rumput musim semi, sampai talinya putus, tindakan-tindakannya mengakhiri dirinya dan keserakahannya membawanya jatuh tertelungkup.
Pada waktu itu tak ada yang mengagetkan saya selain kerumunan orang yang maju kepada saya dari setiap sisi seperti bulu tengkuk rubah sehingga Hasan dan Husain terinjak dan kedua ujung baju bahu saya robek. Mereka berkumpul di sekitar saya seperti kawanan kambing. Ketika saya mengambil kendali pemerintahan, suatu kelompok memisahkan diri dan satu kelompok lain mendurhaka, sedang yang sisanya mulai menyeleweng seakan-akan mereka tidak mendengar kalimat Allah yang mengatakan, "Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak in gin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) buini. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. " (QS. 28:83)
Ya, demi Allah, mereka telah mendengarnya dan memahaminya, tetapi dunia nampak berkilau di mala mereka dan hiasannya menggoda mereka. Lihatlah, demi Dia yang memilah gabah (untuk tumbuh) dan menciptakan makhluk hidup, apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung tidak mengajukan hujah, dan apabila tak ada perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, maka saya akan sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya, dan memberikan orang yang terakhir perlakuan yang sama seperti orang yang pertama. Maka Anda akan melihat bahwa dalam pandangan saya dunia Anda ini tidak lebih baik dari bersin seekor kambing.


Dikatakan bahwa ketika Arnirul Mukminin sampai di sini dalam khotbahnya, seorang lelaki dari 'Iraq berdiri dan menyerahkan kepadanya suatu tulisan. Amirul Mukminin melihat (tulisan) itu, dan ketika itu juga Ibn 'Abbas --semoga Allah meridai keduanya-- berkata, "Ya Amirul Muk­minin, saya harap Anda lanjutkan khotbah Anda dari mana Anda telah memutuskannya."
Atasnya ia menjawab,
"Wahai Ibn 'Abbas, hal itu seperti uap dengusan seekor unta yang menyembur keluar tetapi (kemudian) mereda."
Ibn 'Abbas berkata bahwa ia tak pernah menyedihkan suatu ucapan sebagaimana atas yang satu ini, karena Amirul Mukminin a.s. tak dapat mengakhirinya sebagaimana diinginkannya.
Sayid Radhi mencatat: Kata-kata dalam khotbah, "seperti penunggang unta" bermaksud menyampaikan bahwa bilamana seorang penunggang unta menarik kendali dengan kaku maka dengan sentakan itu lobang hidungnya akan memar, tetapi apabila ia melonggarkannya padahal unta itu liar, maka unta itu akan melemparkannya di suatu tempat dan akan lepas kendali. Asynaq an-nāqah digunakan bilamana si penunggang menarik kekang dan meninggikan kepala unta. Dalam pengertian yang sama digunakan juga kata syanaqa an-nāqah. Ibnu Sikkit telah menyebutkannya dalam Islāhul Manthiq. Amirul Mukminin telah mengatakan asynaqa lahā sebagai ganti asynaqaha, karena ia menggunakannya seirama dengan aslasa lahā dan keselarasan hanya dapat dipertahankan dengan mengunakan keduanya dalam bentuknya yang sama. Jadi, Amirul Mukminin menggunakan asynaqa lahā seakan-akan sebagai ganti in rafa'a lahā ra'sahā, yakni "apabila ia menghentikannya dengan menarik kekang".•
[i] Khotbah ini terkenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah dan dipandang sebagai salah satu khotbah Amirul Mukminin yang paling masyhur. Khotbah ini disampaikan di Ar-Rahbah (suatu bagian dari Kufah). Sebagian orang menyangkalnya sebagai ucapan Amirul Mukminin, dan mengatakan bahwa itu dibuat-buat oleh Sayid Radhi (Syarif Radhi) namun para ulama pencinta kebenaran telah menyanggah sangkalan itu. Tidak ada pula dasar untuk penyangkalan itu. Perbedaan pandangan Ali a.s. dalam hal kekhalifahan bukanlah rahasia, sehingga singgungan-singgungan semacam itu tak dapat dipandang sebagai sesuatu yang asing. Dan, peristiwa yang telah disinggung dalam khotbah ini terpelihara dalam catatan-catatan sejarah yang membenarkannya, kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Apabila peristiwa-peristiwa yang sama yang bertaian dengan sejarah dikatakan kembali oleh Amirul Mukminin maka manakah alasan untuk menyangkalinya? Apabila ingatan akan keadaan-keadaan yang tak menyenangkan segera setelah wafatnya Nabi nampak tak terlupakan baginya, tidaklah hal itu harus mengejutkan. Tiada ragu, khotbah ini mengenai prestise tokoh-tokoh tertentu dan mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada mereka. Tetapi, kepercayaan itu tak dapat dipulihkan dengan menolak khotbah ini sebagai ucapan Amirul Mukminin, kecuali apabila peristiwa-peristiwa yang sebenarnya dianalisa dan kebenarannya diungkapkan. Apabila tidak demikian, sekadar menolaknya sebagai ucapan Amirul Mukminin karena mengandung peremehan terhadap individu-individu tertentu, tidaklah berbobot, padahal kritik yang sama telah diriwayatkan oleh sejarawan lain pula. Maka, (Abu 'Utsman) 'Amr Ibnu Bahr Al-Jāhizh telah mencatat kata-kata berikut ini dari suatu khotbah Amirul Mukminin, dan kata-kata itu tidak kurang bobotnya daripada kritik dalam Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah.
Yang dua ini meninggal dan yang ketiga bangkit seperti gagak yang keberaniannya terbatas pada perut. Akan lebih baik apabila kedua sayapnya terputus dan kepalanya terlepas.
Alhasil, gagasan bahwa khotbah itu buatan Sayid Radhi adalah jauh dari kebenaran, dan hanya merupakan hasil partisan dan sikap memihak. Sekiranya tuduhan itu merupakan hasil suatu penelitian, haruslah dikernukakan. Bila tidak demikian maka bersikeras pada ilusi penuh hasrat semacam itu tidak mengubah kebenaran, tidak pula kekuatan argumen-argumen yang menentukan akan terpupuskan hanya dengan tidak setuju dan tak senang.
Sekarang, marilah kita lihat kesaksian dari para ulama dan ahli periwayatan yang dengan tegas memandangnya sebagai asli dari Amirul Mukminin, supaya pentingnya secara historis diketahui. Di antara para ulama ini, sebagian hidup sebelum masa Sayid Radhi, sebagian semasa dengannya, dan sebagian sesudah-nya, tetapi mereka semua meriwayatkan melalui isnad mereka sendiri-sendiri.
(1) Ibnu Abil Hadid menuliskan bahwa gurunya Abul Khair Mushaddiq Ibnu Syabib al-Wasiti (m. 605 H.) menyatakan bahwa ia mendengar khotbah ini dari Syeikh Abu Muhammad 'Abdullah Ibnu Ahmad Al-Baghdadi (m. 567 H.) yang dikenal sebagai Ibnu Al-Khasysyab, dan ketika ia sampai di mana Ibnu 'Abbas menyampaikan kesedihannya karena khotbah ini tertinggal tak lengkap, IbnuKhasysyab mengatakan kepadanya bahwa apabila ia mendengar keluhan sedih Ibnu 'Abbas itu, pastilah ia sudah menanyakan kepadanya apakah ada yang tertinggal pada saudara misannya itu suatu keinginan lain yang tak dipuaskan, karena, kecuali Nabi, ia tidak mengecualikan para pendahulunya maupun para penyusulnya, dan telah mengucapkan semua yang hendak diucapkannya.Maka, mengapa harus ada kesedihan bahwa ia tak dapat mengatakan apa yang diinginkannya? Mushaddiq mengatakan bahwa Ibnu Khasysyab adalah orang yang berhati ceria dan sopan santun. Ketika saya bertanya kepadanya apakah ia juga memandang khotbah itu sebagai buat-buatan, ia menjawab, "Demi Allah, saya percaya itu kata-kata Amirul Mukminin, sebagaimana saya percaya bahwa Anda adalah Mushaddiq Ibnu Syabib." Ketika saya katakan bahwasebagian orang menganggapnya buatan Sayid Radhi, ia menjawab, "Bagaimana mungkin Radhi dapat mempunyai keberanian demikian atau gaya penulisan seperti itu. Saya telah melihat tulisan-tulisan Radhi dan mengetahui gaya penulisannya. Di mana-mana tiada tulisannya menyerupai yang satu ini. Dan saya telah melihatnya pada buku-buku yang ditulis ratusan tahun sebelum lahirnya Sayid Radhi; dan saya telah melihatnya dalam tulisan-tulisan yangterkenal yang saya tahu ulama dan ahli sastra mana yang mengutip tulisan-tulisan itu. Pada masa itu, bukan saja Radhi, tetapi bahkan ayahnya, Abu Ahmad An-Naqib, belum lahir."
(2) Setelah itu, Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam kompilasi-kompilasi gurunya Abul Qasim ('Abdullah Ibnu Ahmad) al-Balkhi (m. 317 H.). la pemimpin kaum Mu'tazilah dalam masa pemerintahan Muqtadir Billah, sedang masa Muqtadir jauh sebelum lahirnya Sayid Radhi.
(3) la selanjutnya menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam buku Inshāf karya Ibnu Qibah (Abu Ja'far Muhammad Ibnu 'Abdur-Rahman). la murid Abul Qa sim al-Balkhi dan ulama mazhab Syi'ah Imamiah. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 205-206).
(4) Ibnu Maltsam Al-Bahrani (m. 679 H.) menulis dalam syarahnya bahwa ia telah melihat satu salinan khotbah itu yang telah ditulis oleh menteri Muqtadir Billah, Abul Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu Al-Furat (m. 312 H.) (Syarh al-Balāghah, I, h. 252-253).
(5) Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi telah meriwayatkan isnad berikut tentang khotbah ini dari kompilasi Syeikh Qutbuddin ar-Rawandi, Minhājul Barā 'ah fī Syarh Nahjul Balāghah:
"Syeikh Abu Nashr al-Hasan Ibnu Muahammad Ibnu Ibrahim menyampaikan kepada saya dari al-Hajib Abul Wafa' Muhammad Ibnu Badi', al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu Badi' dan al-Husain Ibnu al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu 'Abdur-Rahman, dan mereka (mendengar) dari al-Hafizh Abu Bakr (Ahmad Ibnu Musa) Ibnu Mardawaih al-Ishbahani (m. 426 H.) dan dia dari al-Hafizh Abul Qasim Sulaiman Ibnu Ahmad ath-Thabarani (m. 360 H.) dan dia dari Ahmad Ibnu Ali al-Abbar dan dia dari Ishaq Ibnu Sa'id Abu Salamah ad-Dimasyqi dan dia dari Khulaid Ibnu Da'laj dan dia dari Atha’ Ibnu Abi Rabah dan dia dari Ibnu 'Abbas." (Biharul Anwār, edisi pertama, jilid VIII, h. 160-161).
(6) Dalam konteks itu Allamah al-Majlisi menulis bahwa khotbah ini juga termuat dalam kompilasi Abu Ali (Muhammad Ibnu 'Abdul Wahhab) al-Jubba'i (m. 303 H.).
(7) Dalam hubungan dengan otentiknya khotbah ini sendiri, Allamah al-Majlisi menulis:
"Qadhi 'Abdul Jabbar Ibnu Ahmad al-Asadabadi (415 H.), seorang Mu'tazilah yang tegar, menerangkan beberapa ungkapan dari khotbah ini dalam buku Al-Mughni dan berusaha membuktikan bahwa khotbah itu tidak menyerang para khalifah mana pun sebelumnya, tetapi tidak menolak bahwa itu komposisi Amirul Mukminin." (Ibid., h. 161).
(8) Abu Ja'far Muhammad Ibnu Ali, Ibnu Babawaih (m. 381 H.) menulis:
"Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Ishaq ath-Thalaqani mengatakan kepada kami bahwa 'Abdul 'Aziz Ibnu Yahya al-Jaludi (m. 332 H.) mengatakan kepadanya bahwa Abu 'Abdullah Ahmad Ibnu 'Ammar Ibnu Khalid mengata­kan kepadanya bahwa Yahya Ibnu 'Abdul Hamid al-Himmani (m. 228 H.) mengatakan kepadanya bahwa 'Isa Ibnu Rasyid meriwayatkan khotbah ini dari Ali Ibnu Hudzaifah, dan dia dari 'Ikrimah dan dia dari Ibnu 'Abbas." (Ilal asy-Syarā'i, bab XXII, h. 360-361).
(9) Kemudian Ibnu Babawaih mencatat rangkaian isnad berikut:
"Muhammad Ibnu Ali Majilawaih meriwayatkan khotbah ini kepada kami, dan ia mengambilnya dari pamannya Muhammad Ibnu Abil Qasim, dia dari Ahmad Ibnu Abi 'Abdillah (Muhammad Ibnu Khalid) al-Barqi dan dia dari ayahnya dan dia dari Muhammad Ibnu Abi 'UMalr dan dia dari Aban Ibnu 'Utsman dan dia dari Aban Ibnu Taghlib dan dia dari 'Ikrimah dan dia dari Ibnu 'Abbas. ('Ial asy-Syarā'i', I, bab 122, h. 146; Ma'am al-Akhbar, bab 22, h. 361).
(10) Abu Ahmad al-Hasan Ibnu 'Abdillah Ibnu Sa'id al-'Askari (m. 382 H.), yangtergolong ulama besar Sunni, telah menulis syarah dan penjelasan tentang khotbah ini, yang telah dicatat oleh Ibnu Babawaih dalam. 'Ial asy-Syard'i dan Ma 'dni al-Akhbār.
(11) Sayid Ni'matullah al-Jaza'iri menulis:
"Penulis Kitdb al-Ghardt, Abu Ishaq, Ibrahim Ibnu Muhammad ats-Tsaqafi al-Kufi (m. 283 H.) telah meriwayatkan khotbah ini melalui rangkaian sanad-nya sendiri. Tanggal selesainya menulis buku ini hari Selasa, 13 Syawal 255 H. dan pada tahun itu juga Murtadha al-Musawi lahir. la lebih tua dari saudaranya Sayid RadhT." (Anwar an-Nu 'māniyyah, h. 37).
(12) Sayid Radhiuddin Abul Qasim Ali Ibnu Musa, Ibnu Thawus al-Husaini al-Hilli (m. 664 H.) telah meriwayatkan khotbah ini dari Kitab al-Ghārāt dengan rangkaian sanad berikut:
"Khotbah ini diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad Ibnu Yusuf, yang meriwayatkan dari Hasan Ibnu Ali Ibnu 'Abdul Karim az-Za'farani, dan ia (meriwayatkan) dari Muhammad Ibnu Zakariyya al-Ghallabi, dan dia dari Ya'qub Ibnu Ja'far Ibnu Sulaiman, dan dia dari ayahnya, dan dia dari kakek-nya, dan dia dari Ibnu 'Abbas." (terjemahan Ath-Thara'if, h. 202)
(13) Syeikh ath-Tha'ifah, Muhammad Ibnu al-Hasan ath-Thusi (m. 460 H.) me­nulis:
"(Abul Path Hilal Ibnu Muhammad Ibnu Ja'far) al-Haffar meriwayatkan khot­bah ini kepada kami. la meriwayatkan dari Abdul Qasim (Isma'il Ibnu Ali Ibnu Ali) ad-Di'bili, dan dia dari ayahnya, dan dia dari saudaranya Di'bil (Ibnu Ali al-Kuza'i), dan dia dari Muhammad Ibnu Salamah asy-Syami, dan dia dari Zurarah Ibnu A'yan dan dia dari Abu Ja'far Muhammad Ibnu Ali (asy-Syeikh ash-Shaduq), dan dia dari Ibnu 'Abbas." (Al-Amali, h. 137)
(14) Syeikh Mufid (Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu an-Nu'man, m. 413 H.), guru Sayid Radhi, menulis tentang rangkaian sanad khotbah ini:
"Sejumlah periwayat hadis telah meriwayatkan khotbah ini dari Ibnu 'Abbas melalui berbagai isnad." (Al-Irsyād, h. 135)
(15) 'Alam al-Huda (lambang petunjuk) Sayid Murtadha, kakak Sayid Radhi, telah mencatatnya pada h. 203-204 bukunya Asy-Sydfi.
(16) Abu Manshur ath-Thabarsi menulis:
"Sejumlah perawi telah meriwayatkan tentang khotbah ini dari Ibnu 'Abbas melalui berbagai sanad. Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa ia bersama Amirul Mukminin di ar-Rahbah; ketika percakapan beralih kepada kekhalifahan dan mereka yang telah mendahuluinya sebagai Khalifah, Amirul Mukminin menghembuskan nafas keluhan dan menyampaikan khotbah ini." (Al-Ihtijaj)
(17) Abu al-Muzhaffar Yusuf Ibnu 'Abdillah dan Sibth Ibnu Jauzi al-Hanafi (m. 654 H.) menulis:
"Syeikh kita Qasim an-Nafts al-Anbari meriwayatkan khotbah ini kepada kami melalui rangkaian sanadnya yang berakhir pada Ibnu 'Abbas, yang mengatakan bahwa setelah dilakukan pembaiatan kepada Amirul Muk­minin sebagai khalifah, ia sedang duduk di mimbar ketika seorang laki-laki dari hadirin bertanya mengapa ia berdiam diri ketika itu, lalu Amirul Mukminin serta merta mengucapkan khotbah ini." (Tadzkirat Khawashsh al-Ummah, h. 73)
(18) Qadhi Ahmad Ibnu Muhammad, asy-Syihab al-Khafaji (m. 1069 H.) menulis setalian dengan keasliannya:
"Dinyatakan dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali (ra), 'Aneh, selama hayatnya ia (Abu Bakar) hendak melepaskan kekhalifahannya, tetapi ia memperkuat fondasinya untuk orang lain setelah matinya.'" (Syarh Durrat al-Ghawwash, h. 17)
(19) Syeikh 'Ala ad-Daulah as-Simnani menulis:
"Amirul Mukminin SayyidAl-'Arifin Ali a.s. telah menyatakan dalam satu khotbahnya yang cemerlang, "Ini syiqsyiqah yang menyembur keluar". (al-'Urwah li Ahl al-Khalwah wa al-Jalwah, h. 3, naskah di Perpustakaan Nasiriah, Lucknow, India)
(20) Abul Fadhl Ahmad Ibnu Muhammad al-Maldant (m. 518 H.) menulis sehubungan dengan kata syiqsyiqah:
"Satu khotbah Amirul Mukminin terkenal sebagai Khotbah asy-Syiqsyt-qiyyah (khotbah busa unta)." (Majma' al-Amtsāl, jilid I, h. 369)
(21) Pada lima belas tempat dalam An-Nihayah, sementara menerangkan kata-kata dari khotbah ini, Abu as-Sa'adat Mubarak Ibnu Muhammad, Ibnu al-Atsir al-Jazari (m. 606 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin.
(22) Syeikh Muhammad Thahir Patnt, ketika menerangkan kata-kata itu dalam Majma' al-Bihar al-Anwar, membenarkan khotbah ini dari Amirul Muk­minin dengan kata-kata, "Ali mengatakan demikian."
(23) Abul Fadhl Ibnu Manzur (m. 711 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin, dalam Lisan al-'Arab, jilid XII, h. 54, dengan mengata­kan, "Itu adalah busa unta yang mencetus, kemudian mereda."
(24) Majduddln al-Firuzabadt (m. 816/7 H.) telah mencatat kata syiqsyiqah dalam kamusnya (Al-Qdmus, III, h. 251):
"Khotbah asy-Syiqsytqiyyah Ali dinamakan demikian karena ketika Ibnu 'Abbas meminta kepadanya untuk meneruskannya di mana ia telah me-ninggalkannya, ia berkata, "Wahai, Ibnu 'Abbas! Itu busa unta (syiqsyiqah) yang mencetus keluar lalu mereda."
(25) Penyusun Muntahd al-Adab menuliskan:
"Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah Ali diatributkan pada Ali (karramallahu wajhahu)."
(26) Syeikh Muhammad 'Abduh, Mufti Mesir, mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin; ia telah menulis keterangannya dalam bukunya Syarh Nahjul Baldghah.
(27) Muhammad Muhyiddm 'Abdul Hamid, guru besar pada Fakultas Bahasa Arab, Universitas al-Azhar, telah menulis anotasi tentang Nahjul Baldghah dengan membubuhkan prakata, di mana ia mengakui semua khotbah yang mengandung pernyataan-pernyataan menyinggung semacam itu sebagaiucapan Amirul Mukminin.
Di hadapan semua penyaksian dan semua bukti yang tak tersangkal ini, tidak ada tempat untuk menganggap bahwa khotbah itu bukan dari Amirul Mukminin dan bahwa itu buatan Sayid Radhi sendiri.
[ii] Amirul Mukminin mengacu pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah, sebagai berbusana dengan itu. Ini kiasan biasa. Maka, ketika 'Utsman diminta untuk menyerahkan kekhalifahan, ia menjawab, "Saya tidak akan menanggalkan busana yang telah dipakaikan Allah kepadaku ini." Tiada ragu bahwa Amirul Mukminin tidak mengatributkan "baju kekhalifahan" ini kepada Allah, melainkan kepada Abu Bakar sendiri, karena menurut pandangan ijmak, kekhalifahannya bukanlah dari Allah melainkan urusannya sendiri. Itulah sebabnya Amirul Muk­minin mengatakan bahwa Abu Bakar membusanai dirinya sendiri dengan kekhalifahan. la mengetahui bahwa busana ini telah dijahit untuk badannya sendiri, sedang kedudukannya sendiri sehubungan dengan kekhalifahan adalah kedudukan poros pada penggiling yang dapat mempertahankan posisi pusatnya dan tak ada gunanya tanpa itu. Seperti itu pula, ia berpendapat, "Saya adalah sumbu pusat kekhalifahan; bila saya tidak di sana, seluruh sistemnya akan tersesat dari pusat­nya. Sayalah yang bertindak sebagai pengawal bagi organisasi dan ketertibannya, dan mengawalnya melewati berbagai kesulitan. Arus pengetahuan mengalir dari dada saya dan mengairinya pada semua sisi. Kedudukan saya tinggi di atas ima-jinasi, tetapi pencari keserakahan duniawi untuk pemerintahan menjadi batu sandungan bagi saya, dan saya harus mengurung diri dalam keterasingan. Kegelapan yang membutakan merajalela di mana-mana, gelap pekat di mana-mana. Yang muda menjadi tua dan yang tua berpisah ke kuburan, tetapi masa menanggung sabar ini tak mau berakhir. Saya terus melihat dengan mata saya penjarahan atas warisan saya dan melihat berlalunya kekhalifahan dari satu tangan ke tangan lain, tetapi saya tetap bersabar, karena tak dapat menghentikan kesewenang-wenangan mereka tanpa sarana."
Perlunya Khalifah dan Cara Pengangkatannya
Setelah Nabi Muhammad (saw) wafat, dibutuhkan adanya pribadi yang mampu mencegah perpecahan umat dan mengawal hukum Islam dari perubahan, pengubahan dan penyelewengan oleh orang-orang yang hendak memenuhi hawa nafsunya. Bila kebutuhan mendesak ini disangkal maka mengapa suksesi Nabi dianggap begitu penting sehingga pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah dipandang lebih utama daripada penguburan Nabi? Bila kebutuhan ini diakui, maka timbul pertanyaan apakah Nabi juga menyadarinya atau tidak. Bila kita anggap beliau tidak menyadarinya dan tidak dapat menilai ada atau tiadanya kebutuhan tersebut, maka hal ini akan merupakan bukti yang sangat kuat untuk menganggap bahwa Nabi tidak memikirkan cara menyetop kejahatan-kejahatan bidah dan hojatan; padahal beliau telah memberikan peringatan-peringatan tentang masaalah ini.
Apabila dikatakan bahwa beliau menyadari kebutuhan akan adanya pribadi tersebut tetapi tidak membereskannya, karena melihat adanya manfaat dengan membiarkannya, maka beliau tidak akan mendiamkannya tanpa menunjukkan manfaat itu dengan jelas; apabila tidak demikian maka mendiamkan masalah tersebut tanpa tujuan merupakan pelanggaran dalam pelaksanaan tugas Kenabian. Apabila ada halangan, haruslah pula diungkapkan. Karena Nabi tidak meninggalkan masalah agama dalam keadaan tidak sempurna maka beliau tidak akan membiarkan masalah ini terbengkalai, melainkan akan mengajukan jalan pemecahan untuk mengamankan agama dari campur tangan orang lain.
Masalahnya sekarang, bagaimana seharusnya pengambilan keputusan pada masa awal tersebut dan apa yang akan dilakukan. Bila keputusan itu berdasarkan konsensus umat maka hal itu tidak mungkin terjadi, karena pada konsensus semacam itu diperlukan adanya persetujuan tiap individu; tetapi mengingat perbedaan temperamen manusia, maka mustahil mereka akan sepakat. Tak ada contoh di masa itu di mana keputusan dapat diambil dengan mufakat tanpa satu pun yang menolak. Maka bagaimana mungkin kebutuhan mendasar semacam itu digantungkan pada terjadinya peristiwa yang mustahil seperti itu, sedangkan kebutuhan itu menyangkut masa depan Islam dan kemaslahatan umat. Oleh karena itu maka akal sehat tidak dapat menerima tolok ukur ini. Tidak ada pula sunah yang selaras dengannya sebagaimana ditulis oleh Qadhi 'AdhuddTn al-'Ijlt dalam Syarh al-Mawāqif:
"Anda seharusnya tahu bahwa kekhalifahan tidak dapat bergantung pada ijmak pemilihan, karena tidak ada argumen yang logis atau sunah yang dapat dijadikan sandaran."
Kenyataannya, tatkala para pembela pemilihan dalam pelaksanaannya sukar mencapai aklamasi, mereka lalu menempuh persetujuan mayoritas dengan mengabaikan minoritas.
Dalam hal semacam ini sering juga terjadi kekuatan jujur ataupun palsu, cara benar atau tidak, mengubah arus pendapat mayoritas dan mengabaikan keutamaan individu dan kebajikan pribadi. Akibatnya, orang yang mampu dan jujur ter-sembunyi, dan yang tidak kompeten maju ke depan. Bila orang berkemampuan tersisih, terhalang oleh ambisi-ambisi pribadi, lalu bagaimana mengharapkan adanya pemilihan orang yang tepat? Sekalipun, misalnya, semua pemberi suara punya kebebasan dan tidak memihak, lidaklah mesti keputusan mayoritas harus benar dan tak tersesat. Pengalaman menunjukkan bahwa setelah keputusan dijalankan, mayoritas lalu berpendapat bahwa keputusannya sendiri ternyata salah. Bila setiap keputusan mayoritas benar, maka keputusannya yang pertama adalah salah, karena keputusan yang menganggapnya salah adalah juga dari mayoritas.
Tentang pendapat bahwa untuk menghindari kekacauan maka tokoh-tokoh umat dibiarkan memilih siapa saja yang mereka sukai, di sini pun pergesekan dan pertengkaran akan merajalela. Karena, di sini juga pemusatan watak manusia untuk satu persetujuan tidaklah mesti, dan tidak dapat juga dikatakan bahwa mereka dapat mengatasi tujuan-tujuan pribadi mereka. Dalam kenyataannya di sini konflik dan benturan akan lebih kuat. Karena, kalau tidak semua, sekurang-kurangnya kebanyakan dari mereka ingin menjadi calon dan akan berusaha dengan segala daya untuk mengalahkan lawannya, dan membuka jalan yang sebaik-baiknya untuk dirinya. Akibat yang tidak dapat dihindarkan ialah pergumulan dan pergolakan.
Kesimpulannya, tidak mungkin menyingkirkan bencana dengan cara ini, dan ketimbang menemukan tokoh yang tepat, umat hanya akan jadi alat untuk me-menuhi ambisi pribadi orang lain. Lagi pula, bagaimana seharusnya tolok ukur orang yang akan memegang tampuk kekuasaan ini? Sebagaimana biasa, siapa saja yang dapat mengumpul beberapa pendukung dan mampu membuat geger dan ribut-ribut dalam suatu pertemuan dengan menggunakan kata-kata keras maka dialah yang dianggap paling tepat sebagai penguasa. Ataukah kemampuan seseorang juga akan dinilai? Bila penilaian kemampuan seseorang ditentukan juga dengan cara pemilihan umum seperti ini, maka kerumitan dan kekacauan serupa akan muncul. Bila ada patokan lain, maka sebagai ganti menilai para pemberi suara seperti itu, mengapa tidak menilai orang yang dipandang pantas untuk kedudukan itu? Selanjutnya berapa banyak tokoh yang dianggap cukup untuk mengambil keputusan? Jelas bahwa sekali patokan ini diambil maka hal ini akan jadi preseden, teladan dan contoh di masa mendatang, dan jumlah orang yang berwenang mengambil keputusan akan jadi patokan juga di masa depan. Qadhi al-'Ajali menulis:
"Malah satu atau dua orang telah cukup menentukan terpilihnya pemimpin, karena kita tahu bahwa para ulama yang tegas dalam agama menganggap cukup pengangkatan Abu Bakar oleh 'Umar dan pengangkatan 'Utsman oleh 'Abdur-Rahman." (Syarh al-Mawaqif, h. 351)
Beginilah riwayat "Pemilihan secara mufakat" di Saqifah Bani Sa'idah dan kegiatan Syura dalam pemilihan 'Utsman: tindakan satu orang telah diberi nama "pemilihan secara mufakat", dan perbuatan satu orang dinamakan majelis syura. Abu Bakar telah memahami kenyataan bahwa pemilihan berarti hanya satu atau dua suara yang akan diatributkan pada rakyat umum yang sederhana. Itulah sebabnya ia mengabaikan tuntutan dengan suara bulat, suara mayoritas atau metode pemilihan melalui majelis yang dipilih, dan ia sendiri mengangkat 'Umar. 'A'isyah pun memandang bahwa membiarkan masalah kekhalifahan pada suara beberapa individu berarti mengundang kekacauan dan kesulitan. la mengirimkan pesan kepada 'Umar menjelang matinya:
"Jangan biarkan umat Islam tanpa pemimpin. Angkatlah seorang khalifah untuk itu dan jangan Anda tinggalkan umat tanpa pewenang, karena apabila tidak demikian saya melihat kekacauan dan kesulitan."
Ketika pemilihan oleh orang yang berwenang terbukti gagal, hal itu ditinggalkan, dan hanya "kekuatan adalah kebenaran" yang menjadi ukurannya—yakni siapa saja yang menundukkan dan menguasai orang lain, diterima sebagai khalifah Nabi dan pelanjutnya yang sebenarnya. Ini prinsip buatan sendiri, padahal ada serangkaian hadis Nabi yang disampaikan pada "Pertemuan 'Asyirah", pada ma-lam Hijrah, pada Perang Tabuk, pada kesempatan menyampaikan surah al-Bara'ah (at-Taubah) dan di Ghadlr Khum. Yang aneh, setiap orang dari khalifah itu di-dasarkan pada pilihan individu, sementara pilihan Nabi sendiri ditolak! Padahal, penunjukan oleh Nabi adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri perselisihan, yakni bahwa Nabi sendiri yang semestinya menyelesaikan dan menyelamatkan umat dari kekacauan-kekacauan di masa depan dan menghindarkan pengambilan keputusan di tangan orang-orang yang terlibat dalam tujuan dan maksud-maksud pribadi. Ini prosedur yang tepat yang sesuai dengan nalar dan juga mendapat dukungan hadis-hadis Nabi yang tegas.
[iii] Hayyan Ibnu Samin al-Hanafi al-Yamamah adalah kepala suku Bani Hanifah dan penguasa benteng dan tentara. Jabir adalah nama adiknya, sedang A'sya, yang nama sesungguhnya Malmun Ibnu Qais Ibnu Jandal, adalah sahabat karib dan hidup pantas dan bahagia atas kemurahannya. Dalam bait syair ini ia membandingkan kehidupannya sekarang ini dengan yang sebelumnya, yakni masa ketika ia berkelana mencari nafkah, dengan masa hidup berbahagia bersama Hayyan. Pada umumnya dianggap bahwa Amirul Mukminin mengutip bait ini untuk mem­bandingkan masanya yang kesusahan dengan masa-masa daMal yang dilaluinya dalam asuhan dan perlindungan Nabi, ketika ia bebas dari segala kerisauan dan menikmati kedaMalan mental. Tetapi, mengingat peristiwa ia membuat perbandingan ini, serta pokok bait syair itu, bukanlah penjelasan yang dicari-cari apabila itu dianggap menunjukkan perbedaan antara kedudukan yang tak penting dari orang-orang yang sekarang sedang berkuasa, di masa kehidupan Nabi, dan wewenang dan kekuasaan mereka sesudahnya; yakni, pada masa Nabi tiada perhatian diberikan kepada mereka, karena kepribadian Ali; tetapi, sekarang waktu telah berubah demikian rupa sehingga orang-orang itu menjadi penguasa dunia Islam.
[iv] Ketika 'Umar terluka oleh Abu Lu'lu'ah dan ia melihat bahwa sulit baginya untuk hidup lebih lama lagi, karena luka yang parah itu, ia membentuk suatu komite musyawarah (Syura) dan menunjuk Ali Ibnu Abt Thalib, 'Utsman Ibnu 'Affan, 'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf, Zubair Ibnu 'Awwam, Sa'id Ibnu Abi Waqqash dan Talhah Ibnu 'Ubaidillah, seraya mengikat mereka dengan ketentuan bahwa setelah tiga hari sesudah kematiannya, mereka harus memilih salah seorang di antara mereka sendiri sebagai khalifah, sementara untuk tiga hari itu Shuhaib akan bertindak sebagai khalifah sementara.
Ketika menerima instruksi ini, beberapa orang bertanya kepadanya bagaimana pikirannya tentang setiap orang dari mereka itu, untuk memungkinkan mereka berlaku sesuai dengan sorotannya. Karenanya, 'Umar mengungkapkan pandangannya sendiri tentang setiap individu itu. Ia mengatakan bahwa Sa'd bertempramen kasar dan berkepala panas; 'Abdurrahman adalah Fir'aunnya umat; Zubair, apabila disenangkan, adalah seorang mukmin yang sebenarnya, tetapi apabila tidak disenangkan adalah seorang kafir; Thalhah adalah pengejawantahan kebanggaan dan kesombongan, yang apabila dijadikan khalifah ia akan memasang cincin kekhalifahan di jari istrinya, sedang 'Utsman tidak melihat melampaui keluarga-nya. Mengenai Ali, ia terpikat kekhalifahan, walalupun saya tahu hanya ia sendiri yang dapat melaksanakannya pada garis yang benar.
Walaupun demikian pengakuannya, ia menganggap perlu untuk membentuk Syura itu, dan dalam memilih para anggotanya dan meletakkan prosedur kerjanya, ia meyakinkan bahwa kekhalifahan akan mengarah ke mana ia menginginkannya. Maka, seorang yang berkebijaksanaan biasa dapat mengambil kesimpulan bahwa semua faktor keberhasilan 'Utsman terdapat di dalamnya.
Apabila kita perhatikan para anggotanya, kita lihat bahwa, pertama, 'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf adalah suami saudara perempuan 'Utsman; berikutnya, Sa'd Ibnu AbT Waqqash, selain menaruh dengki terhadap Ali, adalah teman dan keluarga 'Abdur-Rahman; keduanya tak dapat diharapkan akan menentang 'Utsman.
Yang ketiga, Thalhah Ibnu 'Ubaidillah yang tentangnya Muhammad 'Abduh menulis dalam anotasinya mengenai Nahjul Balaghah:
"Thalhah cenderung kapada 'Utsman, dan sebabnya adalah tak kurang dari ia menentang Ali, karena ia sendiri seorang anggota suku Taim, dan naiknya Abu Bakar pada kekhalifahan telah menciptakan perseteruan antara Bani Taim dan Bani Hasyim."
Mengenai Zubair, sekiranyapun ia memilih Ali, apa gunanya satu suara ini? Menurut pernyataan Thabari, Thalhah tidak hadir di Madinah pada waktu itu, tetapi absennya tidak menghalangi keberhasilan 'Utsman. Malah, sekiranyapun ia hadir, sebagaimana ia akhirnya datang ke Syura itu, dan ia dianggap pendukung Ali, tetap tidak akan meragukan keberhasilan 'Utsman, karena pikiran 'Umar yang cerdik telah menetapkan prosedur bahwa:
"Apabila dua orang menyetujui yang satu, sedang yang dua orang lagi me-nyetujui seorang lainnya, maka 'Abdullah Ibnu 'Umar akan bertindak sebagai penengah. Kelompok yang diperintahkannya harus mamilih khalifah di antara mereka sendiri. Apabila mereka tidak menerima keputusan 'Abdullah Ibnu 'Dinar, maka dukungan harus diberikan kepada kelompok di mana termasuk 'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf; tetapi, apabila yang lain-lainnya tidak menyetujuinya maka mereka harus dipancung kepalanya karena menentang ke­putusan ini." (Thabari, I, h. 2779-2780; Ibnu Atsir, III, h. 67)
Di sini ketidaksepakatan dengan keputusan 'Abdullah Ibnu 'Umar tidak berarti apa-apa, karena ia diarahkan untuk mendukung kelompok yang meliputi 'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf. la telah memerintahkan anaknya 'Abdullah, dan Shuhaib, bahwa:
"Apabila orang-orang itu berselisih, Anda harus memihak kepada mayoritas; tetapi apabila ada tiga di antara mereka di satu sisi dan tiga di sisi lainnya, Anda harus memihak pada kelompok di mana termasuk 'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf." (Thabari, jilid I, h. 2725, 2780; Ibnu AtsTr, jilid II, h. 51, 67)
Dalam instruksi ini persetujuan mayoritas juga berarti mendukung 'Abdur-Rahman, sebab mayoritas tak mungkin memihak pada siapa pun lainnya, karena lima puluh pedang haus darah telah disiapkan terhadap kelompok lawan, dengan perintah untuk memancung kepala mereka atas keputusan 'Abdur-Rahman. Mata Amirul Mukminin telah membaca pada saat itu juga bahwa kekhalifahan akan berpindah kepada 'Utsman, sebagaimana nampak pada kata-kata berikut ini, yang disampaikannya kepada 'Abbas Ibnu 'Abdul Muththalib:
"Kekhalifahan telah disingkirkan dari kami." 'Abbas bertanya bagaimana ia mengetahuinya. Lalu ia menjawab, '"Utsman juga telah disetarakan dengan saya, dan telah diatur bahwa mayoritas harus didukung; tetapi, apabila dua orang menyetujui yang satu, dan dua lagi menyetujui yang lain, maka dukung­an harus diberikan kepada kelompok di mana termasuk 'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf. Nah, Sa'd akan mendukung saudara sepupunya 'Abdur-Rahman yang tentu saja adalah suami saudara perempuan 'Utsman." (ibid)
Alhasil, setelah wafatnya 'Umar, pertemuan ini berlangsung di rumah 'A'isyah. Di pintunya berdiri Abu Thalhah al-Anshari dengan lima puluh orang yang telah menghunus pedang di tangannya. Thalhah memulai acara, dan seraya mengundang semua yang lain-lainnya untuk menyaksikan, ia berkata bahwa ia memberikan hak pilihnya kepada 'Utsman. Ini menyinggung harga diri Zubair karena ibunya Safiyyah putri 'Abdul Muthtalib adalah saudara perempuan ayah Nabi. Maka ia memberikan hak suaranya kepada Ali. Sesudah itu Sa'd Ibnu Abi Waqqash memberikan hak suaranya kepada 'Abdur-Rahman. Tinggal tiga anggota Syura yang belum memilih, di antaranya 'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf yang mengatakan ia mau melepaskan haknya sendiri untuk dipilih apabila Ali a.s. dan 'Utsman memberikan hak kepadanya untuk memilih seseorang di antara mereka, atau salah satu di antara kedua orang ini harus mendapatkan hak memilih dengan jalan menarik diri dari pencalonan. Ini perangkap di mana Ali telah dilibat dari semua sisi, yakni ia harus meninggalkan haknya sendiri atau mengizinkan 'Abdur-Rah­man bertindak semaunya. Yang pertama tak mungkin baginya, yakni melepaskan haknya dan memilih 'Utsman atau 'Abdur-Rahman. Maka, ia berpegang pada haknya, sementara 'Abdur-Rahman melepaskan diri dari pencalonan itu lalu me-megang kekuasaan ini seraya berkata kepada Amirul Mukminin, "Saya membaiat Anda dengan syarat Anda mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan perilaku kedua Syeikh (Abu Bakar dan 'Umar)." Ali menjawab, "Akan mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan pendapat saya." Ketika ia memberikan jawaban yang sama seka-lipun pertanyaan itu telah diulang tiga kali, 'Abdur-Rahman berpaling kepada 'Utsman seraya berkata, "Apakah Anda menerima persyaratan ini?" 'Utsman tidak beralasan untuk menolak; maka ia menyetujui persyaratan itu, dan baiat pun dilakukan baginya. Ketika Amirul Mukminin melihat haknya terpijak-pijak demikian, ia berkata:
"Ini bukan hari pertama Anda berlaku menentang kami. Saya hanya harus bersabar. Allah adalah Penolong terhadap segala yang Anda katakan. Demi Allah, Anda tidak membuat 'Utsman menjadi khalifah melainkan dengan harapan bahwa ia akan mengembalikan kekhalifahan kepada Anda."
Setelah mencatat peristiwa Syura (komite musyawarah pengangkatan 'Utsman itu), Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ketika pembaiatan telah dilakukan kepada 'Utsman, Ali menegur 'Utsman dan 'Abdur-Rahman dengan mengatakan, "Semoga Allah menaburkan benih perselisihan di antara Anda," dan demikian terjadinya sehingga keduanya bermusuhan sengit, dan 'Abdur-Rahman tak pernah lagi berbicara dengan 'Utsman hingga matinya. Bahkan di ranjang kematiannya ia memalingkan muka ketika melihat 'Utsman.
Melihat peristiwa ini timbul pertanyaan, apakah Syura bermaksud membatasi urusan kepada enam orang, kemudian kepada tiga orang, dan akhirnya hanya pada satu orang saja? Juga, apakah syarat untuk mengikuti perilaku kedua Syeikh untuk kekhalifahan ditetapkan oleh 'Umar, atau hanya sekadar halangan yang diletakkan oleh 'Abdur-Rahman antara Ali a.s. dan kekhalifahan; khalifah yang per­tama tidak meletakkan syarat pada waktu mengangkat khalifah yang kedua, yakni bahwa ia harus mengikuti langkah-langkah khalifah yang pertama. Maka, apakah alasan untuk syarat itu di sini?
Namun, Amirul Mukminin telah menyetujui untuk turut serta dalam Syura itu untuk menjauhkan bencana dan untuk menghentikan orang menggunakannya sebagai dalih, sehingga orang-orang lain dibungkamkan dan tak akan dapat meng-aku bahwa mereka sebenarnya akan memilih dia dan bahwa ia sendiri meng-elakkan komite musyawarah itu dan tidak memberikan kesempatan kepada mereka memilihnya.
[v] Tentang pemerintahan khalifah yang ketiga itu, Arnirul Mukminin mengatakan bahwa scgera setelah ia berkuasa, Ban? Umayyah mendapatkan lahan dan mulai menjarahi Baitul Mal (perbendaharaan negara), dan seperti ternak melihat rumput hijau setelah musim kemarau, dengan sembrono mereka mcnyerbu uang milik Allah lalu melahapnya. Akhirnya keserakahan dan nepotisme ini membawa­nya ke tahap di mana rakyat mengepung rumahnya, membunuhnya dan membuatnya memuntahkan semua yang telah ditelannya.
Malakelola pemerintahan yang terjadi dalam masa ini sedemikian rupa sehing­ga tiada seorang Muslim yang tak tergugah melihat para sahabat berkcdudukan tinggi dibiarkan terlantar, dilanda kemiskinan dan dikepung kemelaratan, sementara kekuasaan atas Baitul Mal berada di tangan Bani Umayyah, jabatan pemerintahan diduduki orang-orang muda mereka yang tak berpengalaman, hak-hak khusus kaum Muslim mereka kuasai, padang penggembalaan hanya untuk ternak mereka, rumah-rumah dibangun hanya untuk mereka, dan kebun-kebun hanya bagi mereka saja. Apabila ada seseorang merasa belas kasihan kepada orang lain lalu berbicara tentang pelanggaran batas-batas ini, ia diusir dari kota. Penggunaan zakat dan sedekah yang dimaksudkan untuk fakir miskin, dan Baitul Mal yang merupakan hak umum kaum Muslim, dapat dilihat pada gambaran berikut:
(1) Hakam Ibnu Abil 'Ash yang telah diusir oleh Nabi dari Madinah, diizinkan kembali ke kota itu, bukan saja bertentangan dengan sunah Nabi tetapi juga bertentangan dengan perilaku kedua khalifah sebelumnya; ia bahkan diberi tiga ratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Ansāb al-Asyrāf, V, h. 27, 28, 125)
(2) Walid Ibnu 'Uqbah yang telah dinaMal munafik dalam Qur'an, dibayari seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Al-'Iqd al-Farid, III, h. 94)
(3) Khalifah itu mengawinkan anak perempunnya Umm Aban dengan Marwan Ibnu Hakam dan memberikan kepada Marwan seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 194-199)
(4) la mengawinkan anaknya 'A'isyah dengan Harits Ibnu Hakam dan mem­berikan kapada Harits seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (ibid)
(5) 'Abdullah Ibnu Khalid diberi empat ratus ribu dirham. (Ibnu Qutaibah, Al-Ma'ārif, h. 84)
(6) la memberikan hak atas khums (pajak keagamaan) dari Afrika, sejumlah lima ratus ribu dinar, kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid)
(7) Kebun Fadak yang tidak diserahkan kepada putri Rasulullah Fathimah az-Zahra' berdasarkan alasan bahwa itu merupakan sedekah umum, diberikan sebagai hadiah kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid)
(8) Mahzur, suatu tempat di area perdagangan Madinah, yang telah dimaklumkan sebagai milik umum oleh Nabi, dihadiahkan kepada Hants Ibnu Hakam. (ibid)
(9) Di padang-padang sekitar Madinah, lak ada unta selain milik Bani Umayyah yang digembalakan. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 199)
(10) Setelah meninggalnya ('Utsman), seratus lima puluh ribu dinar (mala uang mas) dan satu juta dirham (mata uang perak) terdapat di rumahnya. Tak ada batas tanah-tanah yang bebas pajak; dan nilai total harta perkebunan yang dimilikinya di Wadi al-Qura dan Hunain adalah seratus ribu dinar. Di sana terdapat unta dan kuda yang tak terhitung banyaknya. (Muruj adz-Dzahab,I, h. 435)
(11) Famili-famili khalifah memerintah semua kota penting. Di Kuf'ah, Walid Ibnu 'Uqbah adalah gubernurnya. Tetapi ketika dalam keadaan mabuk anggur ia mengimami salat Subuh empat rakaat, bukannya dua, dan rakyat menggugat, la pun dipindahkan. Tetapi, khalifah menggantikkannya dengan seorang munafik, Sa'id bin al-'Ash. Di Mesir 'Abdullah Ibnu Sa'd Ibnu AbT Sarh, diSuriah Mu'awiah Ibnu Abi Sufyan, di Bashrah 'Abdullah Ibnu 'Amir.

Ayatullah Al-Uzhma Sayyid Ali Huseini Khamenei

Photobucket "Jika anda mencari seseorang seperti sayyid Khamenei yang sangat berpegang teguh terhadap Islam dan memiliki jiwa khidmat yang tinggi, sementara landasan hatinya adalah untuk berkhidmat bagi bangsa ini, niscaya anda tidak akan dapati orang seperti dia. Saya sudah bertahun-tahun mengenalnya" (Cuplikan ceramah Imam Khomaini r.a. yang dimuat dalam kitabSahifah-e Nur jilid 17 hal 170)

FATAMORGANA

Photobucket Orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, “Kami ini adalah anak dan kekasih-kekasih Allah.” Katakanlah, “Jika demikian, mengapa Allah menyiksamu karena dosa-dosamu? (Kamu bukanlah anak dan kekasih-kekasih Allah), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).”( al Maidah 18)

Doktor Sayid Muhammad Husein Thabathaba’i

Photobucket Anak termuda yang hafal seluruh Al Quran, penerjemah Al Quran termuda dan pelajar Hauzah Ilmiah Qom yang paling belia. Anak pertama yang mampu menyampaikan semua keinginan dan percakapannya sehari-hari dengan menggunakan ayat-ayat suci Al Quran. Anak pertama yang berhasil menghafal seluruh Al Quran dengan metode isyarat. Anak pertama yang bisa dengan mudah menghubungkan satu ayat dengan lainnya dan menafsirkan ayat Al Quran dengan cara itu. Anak pertama yang dapat menjawab semua pertanyaan dengan menggunakan ayat-ayat suci Al Quran. Anak pertama dari negeri Iran yang berhasil memperoleh titel Doktor kehormatan dari salah satu universitas Inggris di usianya yang ketujuh.

pakoz PHOTOS

Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket